Serpihan Dari Sengketa Astro Vs Ayunda - Benarkah Ananda Mengontrol Astro ?

Prinsip Good Corporate Governance (GCG) yang didengang-dengungkan Indonesia Stock Exchange (IDX) atau Bursa Efek Indonesia (BEI) antara lain adalah keterbukaan (disclosure) demi transparansi. IDX tentu saja ingin menjaga kepentingan investor (minoritas) tentang siapa sesungguhnya pemegang saham yang memiliki dan khususnya mengontrol sebuah perusahaan.

Posisi ultimate shareholders ini harus diungkap agar kelak jelas siapa sesungguhnya yang mengendalikan sebuah perusahaan dengan segala corporate action-nya. Sebab, ketika suatu saat emiten melakukan atau terlibat skandal, pihak otoritas dengan mudah akan mencari penjelasan apa sesungguhnya yang sedang terjadi, lalu siapa yang harus bertanggung jawab.

Tentu saja, situasi akan berbeda bila sebuah skandal atau kasus melibatkan investor asing. Selain secara otoritas menjadi terbatas, pemerintah yang diwakili oleh otoritas bursa harus menemukan aturan yang tepat untuk sekali lagi, menjaga kepentingan pemegang saham, khususnya yang minoritas.

Di perusahaan yang masih privat, mekanisme penyelesaian kasus atau skandal bisa lebih ruwet tapi bisa juga lebih mudah. Itu akan mudah bila B to B yang terlibat kasus dengan lapang dada mau menyelesaikan masalah tanpa mengorbankan pasar, publik atau stakeholder yang menjadi target mereka. Sebaliknya, penyelesaian akan sangat ruwet bila para pihak yang terlibat kasus bersikeras dengan pendapat masing-masing. Bahkan, jalur hukum yang menjadi pedoman di banyak negara sering kali keteteran untuk memfasilitasi para pihak yang bersengketa dan bermasalah dalam bisnis.

Dalam kasus sengketa televisi berbayar Astro dimana Astro Group dan Ayunda Prima Mitra menjadi pemegang saham adalah contoh yang tidak sederhana itu. Selain keduanya sedang berjuang menggugat secara pidana dan perdata, kini keduanya pun sedang berhadapan dengan situasi dan konsekuensi yang cukup sulit. Sebab, di sisi Ayunda, Astro digugat dengan pasal pemalsuan dokumen dengan tersangka Ralph Marshall yang kini sudah berstatus buronan (masuk Daftar Pencarian Orang atau DPO). Sebaliknya, Astro Group memilih jalur arbitrase internasional yang berkantor di Singapura untuk menangani kasus ini.

Fakta lain yang saat ini mengiringi kasus itu, pemilik Astro Group, Ananda krishnan juga sedang terseret kasus dugaan korupsi di India yang melibatkan Menteri Telekomunikasi beserta keluarganya. Setidaknya itu dikabarkan oleh The Malaysian Insider, tim investigasi kepolisian India sudah mendatangi kantor Maxis (Astro Group) di Malaysia untuk menginvestigasi berbagai transaksi keuangan yang diduga mencurigakan. Tentu saja, akan diperiksa juga, apakah Ananda Krishnan selaku pemilik Astro menjadi aktor intelektual atas kasus tersebut atau tidak.

Mencermati dokumen Annual Report 2008 yang diterbitkan oleh Astro All Asia Network PLC, serta beberapa penerbitan The Strait Times yang berbau investigasi, dapat diduga adanya kemungkinan Ananda Krishnan berada di balik setiap keputusan yang dibuat oleh unit usaha di bawah payung Astro maupun unit usaha yang lain. Sebab bila ditelusuri secara teliti, keterkaitan Ananda sebagai pemegang saham terlihat cukup jelas dan terang.

Dalam kasus TV berbayar Astro, kita tahu, operasionalnya dijalankan oleh PT Direct Vision (DV). PT DV adalah perusahaan patungan antara PT Ayunda Prima Mitra dengan All Asia Multimedia Networks FZ/LLC (AAMN). AAMN sendiri 100% sahamnya dimiliki oleh Astro Overseas Ltd dan Astro Overseas 100% sahamnya dimiliki oleh Astro All Asia Network PLC (AAAN).

Sementara itu, AAAN dimiliki oleh All Asia Media Equities (AAME), Usaha Tegas Entertainment system (UTES) dan sembilan unit usaha yakni Ujud Cergas, East Asia Broadcast Network System, Pacific Broadcast System, Homeview, Southpac Investment, Metro Ujud, Mujur Sandung, Prisma Gergasi, dan Ujud Murni.  Nah, di sembilan unit usaha itu, Ananda memiliki 17,55% saham.

Sementara itu, AAME dan UTES, 24,8% sahamnya dimiliki Pan Ocean Management (POM) di mana Ananda adalah pemilik saham POM. Selain POM, AAME dan UTES juga dimiliki Usaha Tegas dan Pacific States Investment (PSI), di mana PSI sendiri adalah pemegang 99% saham Usaha Tegas. Sedangkan POM, 100% sahamnya dimiliki Excorp Holdings dan 100% saham Excorp Holding dimiliki POM. Dengan Ananda menguasai saham di POM maka dapat diduga bahwa Ananda kemungkinan besar secara langsung maupun tidak langsung melalui Ralph Marshall sebagai tangan kanannya mengontrol seluruh unit usaha itu.

Apakah data yang ada di Annual Report Astro All Asia Network PLC itu otomatis mengarahkan keterlibatan langsung Ananda sehingga orang terkaya Malaysia itu harus ikut bertanggung jawab di kasus Astro? Rasanya, masih terlalu dini untuk menghakimi seperti itu. Proses hukum masih akan berjalan dan mesti ditunggu bagaimana keputusannya.

Yang jelas, dengan temuan bahwa Ananda memang memiliki saham di banyak unit strategis tersebut, maka besar kemungkinan taipan Malaysia itu secara langsung atau melalui orang kepercayaan seperti Ralph Marshall, ikut mengendalikan berbagai keputusan strategis.

Kalau pemerintah India sudah mulai mendatangi kantor Maxis di Malaysia, maka kita boleh menunggu langkah apa yang akan diambil oleh kepolisian kita setelah surat DPO diterbitkan.

Kewaspadaan terhadap investor asing seperti Ananda tentu sah-sah saja untuk ditingkatkan. Sebab, di Indonesia, seperti dilansir dari Strait Times, seorang yang mengaku dekat dengan Ananda menjelaskan, setelah menjual Tanjong Energi Holding dengan nilai spektakuler RM 8,5 miliar, orang kedua terkaya di Malaysia itu sepertinya bermimpi membangun portfolio baru di bisnis energy yakni ekspolasi gas dan minyak di Indonesia melalui Tately NV yang bermarkas di Nederland dan dua perusahaan lain, Zodan dan Zudavi. Tately saat ini sedang menggarap Blok Palmerah di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Sementara itu, Zodan sudah memegang kontrak untuk menggarap Blok Popodi, sedangkan Zudavi untuk Blok Papalang. Keduanya di selat Makassar, pantai timur Kalimantan. Dan ketiga unit usaha itu --Tately, Zodan, Zudavi-- sejatinya juga dimiliki oleh Excorp Holdings, yang 100% sahamnya dimiliki oleh Pan Ocean Management (POM). Sebagaimana dijelaskan, pemilik POM tidak lain dan tidak bukan adalah Ananda Krishnan.

Maka pertanyaannya adalah, apakah Ananda merupakan investor yang kita harapkan ikut memajukan industri migas kita, atau justru akan merusaknya? Wallahualam Bissawab.

BERITA TERKAIT

Grab Raih Sertifikat Kepatuhan Persaingan Usaha

NERACA Jakarta - Grab Indonesia menjadi perusahaan berbasis teknologi pertama penerima sertifikat penetapan program kepatuhan persaingan usaha menurut Komisi Pengawas…

KPK: Anggota Dewan Harus Mewariskan Budaya Antikorupsi

NERACA Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengatakan anggota dewan harus mewariskan budaya antikorupsi. “Tantangan terbesar…

KPPU: Skema Denda di UU Cipta Kerja Guna Beri Efek Jera

NERACA Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengatakan skema denda yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) bertujuan…

BERITA LAINNYA DI Hukum Bisnis

Grab Raih Sertifikat Kepatuhan Persaingan Usaha

NERACA Jakarta - Grab Indonesia menjadi perusahaan berbasis teknologi pertama penerima sertifikat penetapan program kepatuhan persaingan usaha menurut Komisi Pengawas…

KPK: Anggota Dewan Harus Mewariskan Budaya Antikorupsi

NERACA Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengatakan anggota dewan harus mewariskan budaya antikorupsi. “Tantangan terbesar…

KPPU: Skema Denda di UU Cipta Kerja Guna Beri Efek Jera

NERACA Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengatakan skema denda yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) bertujuan…