Oleh: Teguh Boediyana, Pengamat Perkoperasian dan UKM
Memasuki tahun 2020 ini tanpa terasa sudah sekitar 20 tahun kasus tunggakan Kredit Usaha Tani ( KUT ) masih mengambang dan tidak jelas kemana juntrungannya. Sekitar Rp. 10 Triliun kredit dikucurkan secara masal di era Presiden Habibi yaitu di kurun waktu tahun 1998 – 1999. Dalam perjalanannya kredit yang dikucurkan tersebut talah menimbulkan banyak masalah yang berujung tingginya angka tunggakan . Saat ini masih sekitar Rp. 5,7 Triliun yang masih menjadi ganjelan dan belum terselesaikan. Dalam kurun waktu satu setengah decade sudah sangat banyak pernyataan yang dilontarkan oleh para petinggi baik dari eksekutif maupun legislataif menanggaapi masalah yang belum berujung. Ketika menjabat sebagai Menteri Koperasi dan UKM , Suryadarma Ali pernah melontarkan bahwa tunggakan KUT akan diselesaikan secara politik. Tidak jelas penyelesaian tunggakan KUT secara politik dan selanjutnya tidak ada kejelasan lebih lanjut.
Tetapi minimal ada tiga pihak yang harap harap cemas dengan keputusan politik tersebut. Pihak pertama adalah mereka yang saat itu menunggak KUT dan tentunya mereka menginginkan ada pemutihan atas tunggakan kredit. Pihak kedua adalah para debitur yang baik yang telah memenuhi kewajiban mengembalikan kredit yang mereka ambil. Dengan alasan aspek keadilan mereka akan menuntut dikembalikannya kredit yang telah mereka bayarkan. Pihak ketiga adalah orang-orang yang secara moral ikut bertanggung jawab terjadinya tunggakan KUT dan mengharap segera ada solusi.
Kasus KUT menjadi isu yang menarik karena selama lebih dari dua decade tidak ada solusi dan tetap menggantung. Dari sumber yang dapat dipercaya tunggakan KUT melibatkan sekitar 13.400 unit koperasi ( termasuk Koperasi Unit Desa atau lebih dikenal sebagai KUD ) dan 826 Lembaga Swadaya Masyarakat. Berbagai langkah dan kebijakan sudah dilakukan oleh Pemerintah namun sampai saat ini masih belum ada kepastian dalam penyelesaian. Tidak diungkiri bahwa tunggakan KUT ini telah menyandera KUD yang sebelumnya telah berjalan dengan bagus. Akibat tunggakan KUT, baik yang dipakai sendiri atau disalurkan kepada anggota, berakibat KUD yang bersangkutan tidak dapat mengakses kredit ke lembaga keuangan khususnya bank. Akibatnya lembaga perekonomian di pedesaan yang pernah eksis di waktu lalu menjadi lumpuh dan tidak memberi kontribusi dalam pembangunan di pedesaan.
KUT Sebelum dan Sesudah 1998
Kredit Usaha Tani merupakan kebijakan Pemerintah di era Orde Baru berupa modal kerja yang diberikan oleh Bank kepada Koperasi Unit Desa ( KUD) atau melalui KUD untuk keperluan petani yang tergabung dalam Kelompok Tani guna membiayai usaha taninya dalam rangka intensifikasi padi, palawija, dan hortikultura. Sebelum tahun 1998 terdapat 2 (dua ) pola penyaluran yaitu Pola Umum di mana melalui KUD, dan Pola Khusus yang disalurkan melalui Kelompok Tani. Bank Pemberi Kredit berfungsi sebagai pelaksana di mana kredit yang disalurkan menggunakan dana bank pelaksana dan dana Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI). Plafon kredit juga terbatas hanya Rp. 185 Milyard untuk tahun 1997/ 1998. Bunga KUT ditetapkan sebesar 14% per tahun.
Pada dan sesudah tahun 1998 terjadi perubahan yang sangat signifikan dalam pemberian KUT. Di era krisis moneter yang melanda Negara kita, Koperasi Unit Desa tidak lagi sebagai satu-satunya koperasi yang diijinkan di daerah pedesaan seperti tersebut dalam Instruksi Presiden No. 4/1984 tentang Koperasi Unit Desa. Melalui Instruksi Presiden No. 18/1998 yang ditandatangani oleh Presiden B.J Habibie di pedesaan dapat didirikan koperasi selain KUD. Dilandasi Inpres No. 18/1998 inilah kemudian banyak dibentuk Koperasi Tani. Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 31/164/KEP/DIR tanggal 8 Desember 1998 tentang KUT menyebutkan bahwa pemberian dan penyaluran kredit dari bank pemberi kredit tidak kepada KUD tetapi kepada koperasi primer dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Didasarkan SK Bank Indonesia inilah maka LSM selain sebagai pendamping juga dapat berperan sebagai penerima dan penyalur KUT. Selain itu plafon dana KUT juga dinaikkan menjadi sekitar Rp. 6,5 Triliun. Bank Pelaksana hanya berperan sebagai channeling dan dana yang disalurkan sepenuhnya dari KLBI. Bunga KUT diturunkan menjadi 10,5 %/tahun.
Didasarkan Keputusan dari Departemen Pertanian waktu itu besaran plafond KUT untuk setiap jenis komoditas antara lain padi Rp. 2 juta/hektar, bawang merah Rp. 9,3 juta/ha, Jahe Rp. 10 juta/ha, bawang putih Rp. 8,4 juta/ha, jagung Rp. 1,7 juta/ha, cabe merah Rp. 5,4 juta/ha Yang paling rendah adalah plafond untuk ubi jalar yakni Rp. 895 ribu/ha.
Instansi yang Terlibat
Dalam hal penyaluran KUT di tahun 1998/199 terdapat beberapa instansi yang terlibat. Pertama adalah Bank Indonesia sebagai penyedia dana KLBI. Kedua, Departemen Koperasi dan UKM. Ketiga, Departemen Pertanian. Keempat, Bank Penyalur. Pada proses penyaluran KUT, Departemen Pertanian di waktu itu memiliki peran yang sangat besar. Selain yang menetapkan besaran plafond kredit, juga terkait dengan penetapan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok Tani ( RDKK). Dalam RDKK ini terkandung rencana kebutuhan Kelompok Tani untuk satu periode tertentu terkait dengan kebutuhan benih, pupuk, modal kerja, pestisida dsb atas berbagai jenis komoditas yang masuk dalam lingkup KUT. . Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) yang adalah Pegawai Negeri Sipil Departemen Pertanian adalah pihak yang sangat menentukan dalam pemberian dan penyaluran KUT. Sesuai dengan ketentuan PPL inilah yang bertanggung jawab atas kebenaran RDKK yang memuat nama petani, luas areal dan kebutuhan nyata kredit. Untuk jerih payahnya ini PPL mendapatkan imbalan 1 ( satu ) % dari kredit yang diberikan.
Sangat berbeda pola penyaluran KUT di era sebelum dan seudah tahun 1998. Pada era sebelum 1998 bank pemberi KUT berperan sebagai executing ( Pelaksana) . Dalam posisi ini bank pemberi kredit sangat hati hati karena sebagian dari kredit yang disalurkan melibatkan dana abank yang bersangkutan. Sedangkan setelah 1998 posisi bank sebagai penyalur ( chanelling ) KUT dan dana sepeuhnya dari KLBI Bank Indonesia, sehingga bank penyalur tidak punya beban apapun atas kredit yang diberikan. Untuk jasa menyalurkan ini Bank memperoleh imbalan sebesar 2 persen atas kredit yang disalurkan yang diambilkan dari komponen bunga KUT yang besarnya 10,5 persen. . .
Utang Pemerintah
Menyikapi kasus tunggakan KUT di tahun 2001 Menteri Koordinator Bidang Perekonomian menerbitkan Surat Keputusan No. No. 07A/M.EKON/02/2001 tentang Kebijakan Restrukturisasi Kredit Petani dan Reformasi Koperasi. Dalam Surat Keputusan ini ditetapkan antara lain penghapusan bunga tunggakan kredit sebesar 100 persen. Selanjutnya penghapusan atas pokok tunggakan ditetapkan : Pertama, petani gagal panen sebesar 50 %. Kedua, petani dengan luas lahan kurang dari 0,5 Ha sebesar 50 peren. Ketiga, petani dengan luas lahan 0,5 – 1 hektar sebsar 35 %. Keempat, petani dengan lahan lebih dari 1 ha sebesar 25 %. Akan tetapi ketentuan penghapusan pokok adalah bagi tunggakan KUT yang bersih dari penyimpangan. Selanjutnya ditetapkan pula bahwa bagi petani atau lembaga lain yang tidak dapat menyelesaikan tunggakan kreditnya akan diproses melalui jalur hukum. Namun demikian tampaknya Keputusan Menko Bidang Perekonomian yang saat itu dijabat oleh DR. Rizal Ramli tidak ada realisasinya.
Pada saat ini sudah sekitar 20 tahun kasus tunggakan KUT terkatung-katung dengan berbagai implikasinya. Bahkan ada pejabat tinggi yang tampaknya tidak senang kalau masalah KUT ini dibuka dan menganggap menggugah macan tidur. Tanpa menyadari bahwa tidak mungkin macan akan tidur selamanya. Mungkin juga sudah sangat banyak orang orang yang terkait dengan KUT ini yang sudah meninggal. Atau jangan jangan dokumen yang harusnya masih terpelihara juga sudah hilang. Belum tuntasnya tunggakan KUT juga berimplikasi terhadap koperasi atau KUD. Tunggakan KUT ini telah menyandera KUD yang bagus dan potensial yang terpaksa tidak dapat mengembang karena masuk black list dan tidak dapat mengakses kredit ke Bank.
Belum tuntasnya kasus tunggakan KUT tetap merupakan masalah serius dan sebagai hutang Pemerintah. Memang dalam beberapa waktu yang lalu wacana pemutihan tunggakan KUT telah dilontarkan oleh beberapa pejabat tinggi Pemerintah antara lain Dr. Syarif Hasan ketika menjabat sebagai Menteri Koperasi dan UKM, Hatta Rajasa sebagai Menko Perekonomian, dan Ir. Airlangga Hartarto ketika menjabat Ketua Komisi VI DPR-RI.
Implikasi Kebijakan Pemutihan
Kita berandai andai Pemerintah membayar lunas hutang penyelesaian tunggakan KUT dengan pemutihan. Mungkin ada protes oleh sementara pihak yang menganggap kebijakan pemutihan tunggakan KUT sebagai kebijakan yang tidak berkeadilan. Petani yang secara disiplin membayar kredit merasa dirugikan dan akan meminta Pemerintah membayar kembali pinjaman yang telah dibayarkan. Juga mungkin akan menimbulkan atau menjadi preseden negative. Tidak menutup kemungkinan para peminjam kredit program seperti KUR dan skim kredit lain yang tidak menggunakan agunan akan niru para nasabah KUT yang “ngemplang “. Selain itu , akan terjadi perusakan mental sebagian petani dan mereka beranggapan bahwa semua kredit ataupun bantuan yang selama ini diberikan tidak perlu untuk dikembalikan.
Terlepas dari semua kemungkinan yang mungkin timbul, kasus tunggakan KUT harus diselesaikan. Membiarkan kasus tunggakan KUT jelas bukan kebijakan yang baik. Jangan sampai pemerintah beranggapan bahwa kasus tunggakan KUT sebagai “ macan tidur “ sehingga dibiarkan dan tidak perlu dibangunkan. Pemerintah harus memilih jalan terbaik dengan risiko yang minimal. Mungkin salah satu jalan adalah mengacu kepada Keputusan Menko Ekuin di tahun 2001 tersebut diatas. Selain itu Koperasi yang masih berpotensi untuk bangkit dan berkembang diberi kesempatan untuk melakukan restrukturisasi dibawah binaan Kementerian Koperasi dan UKM.
Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…
Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…
Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…
Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…
Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…
Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…