Tantangan Setelah Kemiskinan Satu Digit

 

Oleh: Slamet Riyadi, Staf Ditjen Perimbangan Keuangan, Kemenkeu *)

 

Pada Maret 2018, untuk pertama kali dalam sejarah angka kemiskinan menembus satu digit yaitu sebesar 9,82%. Pada September 2019 kembali turun pada angka 9,22%. Capaian tersebut diraih setelah melewati berbagai upaya, perubahan kebijakan dan pendanaan yang tidak sedikit. Tentu saja kita tidak boleh puas dengan capaian tersebut. Tantangan selanjutnya adalah bagaimana perbaikan kebijakan terus dilakukan agar angka kemiskinan terus mengalami penurunan dan mencegah masyarakat yang telah keluar dari kriteria miskin kembali menjadi miskin. Meskipun akan semakin sulit, tantang tersebut tidak mustahil dapat kita wujudkan. Beberapa hal berikut patut diperhatikan oleh pengambil kebijakan terkait penanganan masalah kemiskinan.

Pendekatan penanggulangan kemiskinan melalui pemberian bantuan sosial baik yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat (baca: Program Keluarga Harapan) maupun yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah (baca: Belanja Bantuan Sosial APBD) dapat terus dilakukan dengan memperhatikan hasil evaluasi dan penguatan data masyarakat miskin.

Bantuan sosial hendaknya difokuskan untuk masyarakat yang benar-benar miskin berdasarkan kriteria yang ditetapkan agar masyarakat miskin dapat mengakses kebutuhan dasar baik pangan maupun non pangan, terutama pendidikan dan kesehatan.  Terkait dengan bantuan pangan(saat ini disalurkan secara non tunai), sudah saatnya untuk dilakukan dengan pendekatan yang berbeda agar bantuan pangan  dapat tepat sasaran.

Sasaran utama bantuan pangan diupayakan untuk perempuan yang berada pada usia subur atau sedang mengalami kehamilan dan anak-anak pada periode awal pertumbuhan dan perkembangan. Hal ini berkaitan dengan kemiskinan yang berdampak terhadap kasus stunting. Edukasi tentang masalah stunting harus menjadi bagian dari penanggulangan kemiskinan disertai dengan edukasi terhadap ayah dari keluarga miskin yang merokok. Edukasi bahaya merokok tidak saja berkaitan dengan kesehatan namun berkaitan pula dengan daya beli keluarga miskin itu sendiri. Keterlibatan pemuka agama dalam hal ini perlu dipikirkan formulanya agar pendekatan yang dilakukan dapat berhasil.

Pendataan kemiskinan juga akan semakin menemui tantangan mengingat masyarakat miskin yang saat ini tersisa umumnya berada pada lokasi yang sulit dijangkau secara geografis atau memiliki masalah terkait dokumen kependudukan. Peningkatan akurasi data kemiskinan juga akan menjadi instrumen utama dalam pelaksanaan koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Penyaluran bantuan sosial dari dana APBD yang berbasis data kemiskinan harus dilakukan. Hal ini untuk semakin mengarahkan bantuan sosial pada kantong-kantong kemiskinan yang benar-benar belum dapat dijangkau oleh APBN melalui Program PKH. Hal tersebut juga untuk meningkatkan akuntabilitas dan transparansi mengingat selama ini dalam banyak kritik bahwa bantuan sosial selalu dikaitkan dengan kepentingan politik, pembentukan citra dan dikaitkan dengan pemilihan kepala daerah periode berikutnya.

Penanggulangan kemiskinan melalui kebijakan Dana Desa juga perlu dipertajam. Sejak kebijakan dana desa dilaksanakan pada tahun 2015 dana desa difokuskan pada pembangunan infrastruktur dan pemberdayaan masyarakat desa. Berdasarkan keluaran, dana desa dianggap sudah cukup berhasil mengatasi persoalan infrastruktur di pedesaan yang memperlancar pergerakan orang dan barang. Ke depan dana desa perlu dipertajam penggunaannya untuk program pemberdayaan masayarakat terutama untuk memberikan keterampilan kepada masyarakat desa yang menjadi sasaran penerima manfaat PKH maupun bansos APBD. Dengan cara demikian maka penerima manfaat diharapkan dapat naik kelas menjadi masyarakat yang menjalankan usaha ultra mikro. Penggunaan Dana Desa untuk pembentukan BUMDes juga diarahkan untuk mengelola dana yang dapat diakses oleh masyarakat miskin bagi modal usahanya.

Tantangan selanjutnya, adalah bagaimana memberdayakan masyarakat yang semula menggunakan skema Government to Person (pembayaran oleh pemerintah kepada masyarakat), terutama untuk bantuan pemerintah dan belanja subsidi dapat beralih menjadi investasi jangka panjang non permanen berupa dana bergulir. Masyarakat miskin yang telah memiliki usaha dapat diberikan modal usaha melalui skema ini. Keberhasilan program ini telah dicapai di beberapa daerah melalui pembentukan Badan Layanan Umum Daerah Pengelola Dana Bergulir, contohnya adalah BLUD Unit Pengelola Dana Bergulir Kabupaten Tangerang. Di tingkat pemerintah pusat setidaknya terdapat BLU Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) Kementerian Koperasi dan UMKM dan BLU Pusat Investasi Pemerintah (PIP) Kementerian Keuangan. Kedua BLU tersebut bahkan telah menjalin kerjasama dengan pemerintah meskipun secara parsial terhadap pemerintah daerah yang menyatakan minat dan komitmen. Untuk lebih melembagakan skema tersebut, presiden perlu memberikan penugasan kepada BLU-BLU tersebut agar menjadi bagian dari integrasi program dan pendanaan penanggulangan kemiskinan.

Dari semua hal tersebut,  tantangan yang patut digarisbawahi adalah setelah keberhasilan mencapai angka kemiskinan satu digit, kita masih mempunyai pekerjaan besar tentang stunting. Studi Status Gizi Balita Indonesia yang terintegrasi dengan Survei Sosial Ekonomi Nasional, pada Maret 2019 angka stunting mencapai 27,7%, meskipun terus menurun sejak tahun 2013 yang sempat berada pada angka 37,2%. Dari sisi pendanaan, pemerintah telah melakukan upaya intervensi pendanaan melalui pengintegrasian beberapa bidang Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik dengan pendekatan program (programmatic approach) termasuk didalamnya DAK Penugasan untuk penurunan angka stunting.

Pendekatan tersebut dilakukan mengingat persoalan stunting tidak melulu faktor gizi semata, namun terkait juga dengan akses air bersih dan sanitasi yang layak. Hal yang sama juga dilakukan untuk kegiatan pada DAK Nonfisik, di dalamnya terdapat DAK BOK sub bidang BOK Stunting. Satu regulasi penting terkait penanggulangan stunting telah diterbitkan pada tahun 2019 yaitu melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61/PMK.07/2019 tentang Pedoman Penggunaan Transfer KDD Untuk Mendukung Pelaksanaan Kegiatan Intervensi Pencegahan Stunting Terintegrasi. Kebijakan tersebut harus dimaknai sebagai rintisan awal pengintegrasian penanggulan kemiskinan beserta masalah turunannya, baik integrasi program maupun integrasi pendanaan. Perluasan para pihak yang terlibat perlu dilakukan ke depan, terutama perlu melibatkan Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, tentu disertai dengan pendanaan dalam APBD Provinsi. *) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi

BERITA TERKAIT

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…

BERITA LAINNYA DI Opini

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…