Pangkas Birokrasi untuk Efisiensi

Tekad Presiden Jokowi menghapuskan eselon III dan IV ternyata tidak main-main. Meski rencana perubahan besar pada birokrasi pemerintahan itu akan menimbulkan polemik, baik yang kontra dan tidak sedikit yang menyikapi dengan kritis. Kebijakan presiden tersebut akan segera terwujud pada tahun depan.

Pendapat kontra melihat kebijakan ini akan sulit terlaksana karena dianggap akan menimbulkan keresahan. Pendapat skeptis lainnya mengatakan bahwa penghapusan eselon III dan IV dapat dilakukan, tapi masih dalam jangka panjang. Sementara itu, kalangan yang menyikapi positif melihat langkah ini merupakan tindakan yang tepat menghadapi situasi perekonomian global yang semakin tidak menentu. Disrupsi tengah melanda perekonomian global akibat dari beragam faktor, di antaranya menurunkan kinerja perekonomian negara-negara maju dan semakin meluasnya pengaruh the internt of things.

Memang benar, menjadi aparatur sipil negara (ASN) telah menjadi dambaan sebagian besar pencari kerja di negeri ini. Jumlah pelamar CASN pada 2018 mencapai 4 juta orang. Fantastis. Di kalangan masyarakat luas, dapat bekerja sebagai ASN dianggap merupakan indikator kepastian masa depan. Lebih lagi jika dapat mencapai eselon I dan II, dianggap sebagai prestasi  yang bermartabat di mata publik.

Berbeda dengan perusahaan swasta, pimpinan instansi pemerintah sangat sulit untuk melakukan pemutusan hubungan kerja dengan pekerja. Oleh karena itu, berbagai ulasan di media sosial menyikapi secara negatif langkah yang akan ditempuh pemerintah. Bahkan, meluasnya wacana seolah-olah eselon III dan IV akan digantikan dengan robot tidak mustahil, ternyata akan menjadi kenyataan di waktu mendatang.

Menurut Lisman Manurung, pemerhati kebijakan publik UI, pemikiran untuk membuat birokrasi yang lebih flat semula merupakan rekomendasi paradigma new public management (NPM). Salah satu sasaran dari NPM ialah merubah manajemen sektor-sektor pemerintah agar dapat melakukan efisiensi atas sumber-sumber daya, termasuk sumber daya manusia (SDM). Pemerintah Indonesia telah mengaplikasikan NPM. Namun, karena adaptasi kurang konsisten, perubahan paradigma tidak berhasil meraih capaian yang berarti. Salah satu hambatan yang ditengarai menghambat kelancaran pelayanan-pelayanan publik ialah lambannya birokrasi mengeksekusi kebijakan-kebijakan pemerintah.

Postur birokrasi kita sangat terstruktur secara hierarkis. Akibatnya, arus informasi lebih didominasi aliran dari atas ke bawah atau top-down daripada bottom-up. Penanganan keluhan warga tidak dapat diatasi dengan segera karena setiap substruktur selalu berpuncak pada seorang pemangku otoritas. Usulan keputusan atau bentuk solusi untuk menangani segala macam urusan harus naik dan turun melalui hierarki otoritas.

Seperti keputusan untuk pemberian izin usaha yang mengandung sifat spesifik, misalnya, memakan waktu berminggu-minggu, padahal di tengah pola kerja industri yang berbasis daring, kompetisi bisnis tidak lagi hanya berbasis negara, tapi sudah banyak yang berbasis bermitra dengan jaringan antara pelaku usaha di dalam negeri dan pelaku usaha di luar negeri.

Birokrasi yang kaku menghambat peningkatan kuantitas dan kualitas ekspor kita. Sebagai contoh, rezim pembebasan bea masuk antara ASEAN dan China yang ditandatangani di era pemerintahan SBY tidak diantisipasi dengan memfasilitasi penyederhanaan perizinan. Akibatnya, ribuan usaha kecil pembuat sepatu di dalam negeri tumbang berguguran.

Padahal, kontribusi ekspor komoditas alas kaki pernah mencapai volume fantastis, yakni 26%. Di pihak lain, arus impor berbagai komoditas yang tadinya ialah komoditas ekspor unggulan kita kini kian menderas. Diterangai birokrasi yang kaku dan berbasis otoritas berjenjang telah membuat tanggung jawab tidak bernuansa kolegial, tapi di pundak setiap pemangku di birokrasi.

Lantas, mengapa penghapusan eselon III dan IV dianggap akan dapat berdampak secara masif, terstruktur, dan sistemik? Boleh dikatakan bahwa bilamana diterapkan dalam waktu dekat, kebijakan pemerintah ini pada dasarnya merupakan kebijakan instrumental (instrumental policy) yang lebih bersifat strategis ketimbang regulasi. Sebagai suatu strategi, kebijakan ini ditujukan untuk menciptakan perubahan instrumental di birokrasi kita.

BERITA TERKAIT

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…