Pemerintah Perlu Susun Peta Industri Tembakau

NERACA

Jakarta - Pemerintah dinilai perlu menyusun road map atau peta jalan kebijakan pertembakauan menyusul jumlah produksi daun tembakau Indonesia yang cenderung stagnan dalam sepuluh tahun terakhir.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin, mengatakan pemerintah belum memiliki peta jalan yang jelas untuk industri pertembakauan di Tanah Air.

"Sebagaimana yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, pemerintah menyatakan akan berkonsentrasi untuk meningkatkan perekonomian berbasis industri skala nasional di daerah Jawa dan Bali. Salah satu strategi yang tercantum di dalamnya adalah mengembangkan industri manufaktur, seperti industri hasil tembakau (IHT) dan beberapa komoditas lainnya. Hal ini tentu saja membutuhkan dukungan di sektor on-farm guna mendukung jumlah produksi yang memadai jika berkaca pada RPJMN tersebut," kata Pingkan mengutip ANTARA.

Berdasarkan data FAOSTAT 2019, Indonesia merupakan produsen tembakau terbesar keenam di dunia setelah China, Brazil, India, Amerika Serikat dan Zimbabwe. Dari 2007 hingga 2017, jumlah produksi daun tembakau Indonesia relatif stagnan dan bahkan sempat mengalami penurunan yang cukup signifikan.

Pada 2007 dan 2008, jumlah produksi daun tembakau Indonesia mencapai 164.851 ton dan 168.037 ton serta mengalami peningkatan di 2009 menjadi 176.510 ton. Jumlah ini mengalami penurunan pada 2010 menjadi 135.700 ton dan meningkat tajam di tahun berikutnya menjadi 214.600 ton dan bertambah menjadi 260.800 ton di 2012. Penurunan kembali terjadi di 2013 menjadi 260.200 ton. Jumlah ini terus menurun menjadi 196.300 ton di 2014 dan 193.790 ton di 2015. Di 2016 dan 2017, jumlah produksi tembakau turun menjadi 126.728 ton kembali meningkat menjadi 152.319 ton.

Pingkan menambahkan jumlah produksi daun tembakau yang cenderung stagnan tersebut terjadi karena beberapa faktor, seperti kurangnya diversifikasi untuk menyerap daun tembakau bagi IHT selain untuk produk rokok.

Produk olahan IHT selain rokok antara lain mencakup cerutu, rokok lintingan dan berbagai bentuk Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL).

Dengan angka konsumen produk IHT yang mencapai 1,1 miliar konsumen di seluruh dunia, Tobacco Atlas mencatat pada 2016 saja konsumsi rokok pada tataran global mencapai sekitar 5,7 triliun batang. Hal itu menyebabkan meningkatnya permintaan daun tembakau untuk IHT, termasuk di Indonesia. Namun dengan kondisi on farm Indonesia yang stagnan tentu hal ini dapat menjadi tantangan tersendiri.

Di sisi lain, menurut Pingkan, pemerintah cenderung kurang memperhatikan kesejahteraan petani tembakau dan tidak cukup memberikan insentif kepada mereka. Padahal, sebanyak 90 persen dari petani tembakau adalah mereka yang tergolong kepada small holder farmers atau petani berskala kecil. Sementara 10 persen lainnya adalah pihak swasta dan pemerintah.

"Pemerintah perlu memberikan stimulan kepada para petani karena selama ini mereka memiliki posisi tawar yang lemah saat berhadapan dengan industri. Mereka juga terpojok karena tidak mendapatkan akses terhadap teknologi pertanian yang mumpuni tanpa bantuan dari pihak swasta. Ancaman krisis iklim juga menyebabkan petani tembakau rawan terkena gagal panen," ungkap Pingkan.

Pemerintah perlu memperjelas arah kebijakannya melalui penerbitan road map pertembakauan. Selama ini pro dan kontra terkait kebijakan pertembakauan terus bergulir karena di satu sisi, tembakau berkontribusi besar dengan menghasilkan pendapatan negara melalui cukai hasil tembakau (CHT) dan menciptakan lapangan kerja dengan dampak berganda.

Pada saat yang sama, produk olahan dari tembakau yaitu rokok juga memiliki dampak negatif bagi masyarakat karena merupakan faktor penyumbang tingginya angka penderita penyakit tidak menular akibat merokok dan membawa kerugian ekonomi, terutama ke keluarga berpenghasilan rendah.

"Isu lainnya yang juga patut mendapat perhatian dari pemerintah ialah peranan komoditas tembakau ini juga menyebabkan neraca perdagangan yang negatif untuk Indonesia dikarenakan nilai impor tembakau lebih tinggi daripada nilai ekspor kita," papar Pingkan.

Sebelumnya, Ketua Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), Budidoyo membenarkan bahwa  IHT tidak hanya besar didalam negeri, tapi juga di luar negeri salah satunya produk yang paling besar diekspor dalam bentuk cerutu.Seperti diketahui hampir seluruh produksi cerutu di Indonesia diekspor ke luar negeri. Sebab memang pasar ekspor cerutu itu hampir semua diekspor.

“Artinya pasar tembakau baik didalam ataupun luar negeri tidaklah kecil, tapi mengeapa perhatian kepada petani timbakau sangat kecil,” keluh Budidoyo.   

Disisi lain, Budidoyo mengakui, cerutu memang kebanyakan di ekspor memang beberapa yang konsusimsi dalam negeri. Termasuk diantaranya tembakau di Deli, Sumatera Utara untuk cerutu yang memang pangsanya besar.

“Medan yang dulu dikenal sebagai sentra tembakau berubah jadi tanaman lain. Padahal Medan dahulu dikenal karena tembakaunya yang dibuat menjadi cerutu dan sempat merajai dunia,” tutur Budidoyo.  

Semua ini, menurut Budidoyo juga karena adanya tekanan asing ingin mematikan tembakau asal Indonesia . Padahal potensinya luar biasa. Bahkan masih banyak lahan yang berpotensi untuk ditanami tembakau untuk mengurangi impor, karena memang pasar IHT tidaklah kecil.  

“Kami heran kami (petani tembakau) potensinya banyak tapi kenapa impor juga banyak? Padahal masih banyak lahan yang bisa ditanami tembakau dan kenapa perkebunan tidak jadi komoditas unggulan meski yang disumbakan tidaklah kecil,” risau Budidoyo.

Melihat hal ini, Budidoyo berharap kepada Menteri Pertanian yang baru untuk bisa memperhatikan perkebunan tembakau. Sebab perkebunan tembakau bagian dari pertanian. “Jangan sampai petani tembakau kembali minim perhatian,” ucap Budidoyo. 

Disisi lain, bahwa revisi PP 109 dinilai sebagai suatu agenda asing untuk mematikan IHT yang menjadi tumpuan penghidupan bagi lebih dari 6 juta masyarakat Indonesia dan pada tahun 2018, industri ini berkontribusi lebih dari Rp200 triliun kepada pendapatan negara, yang diantaranya berasal dari cukai IHT.

Sebab sebelumnya juga beredar pemberitaan bahwa Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memberikan usulan terkait rancanganrevisi PP 109. Beberapa poin revisi tersebut adalah memperluas ukuran gambar peringatan kesehatan dari 40% menjadi 90%, pelarangan bahan tambahan dan melarang total promosi dan iklan di berbagai media, dengan dalih adanya peningkatan prevalensi perokok anak.

“Kami disini sepakat bahwa PP 109 yang berlaku saat ini sudah sangat ketat sebagai payung hukum bagi IHT nasional dan seluruh mata rantai terlibat. Termasuk kepada petani, pekerja, dan pabrikan. Kami meminta agar rencana revisi PP109yang digagas Kemenkes dihentikan. Karena keputusan mereka tidak melibatkan pembahasandari seluruh pemangku kepentingan,’ papar Budidoyo.

Tidak hanya itu, Budidoyo menilai Kemenkes dinilai tidak mempertimbangkan dampak dari usulan pasal-pasal yang digagasnya terhadap 6,1 juta tenaga kerja yang terlibat dalam industri asli Indonesia ini.

“Industri tembakau ini dari hulu ke hilirnya memberikan banyak lapangan pekerjaan, dan banyak keluarga menggantungkan hidupnya dari industri ini. Ketika Kemenkesmerevisi PP109, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh 6,1 juta pekerja yang terlibat, tetapi juga oleh anggota keluarga mereka, kasarnya berdampak pada lebih dari 20 juta jiwa,” tutur Budidoyo.

Perlu menjadi catatan penting bahwa negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Swiss, Maroko, dan Argentina tidak meratifikasi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control), melainkan menerapkan peraturan negara masing-masing untuk mengatur IHT-nya. Indonesia pun telah memiliki pengaturan pengendalian tembakaunya sendiri yaitu PP 109 yang telah mencakup pasal-pasal terkait perlindungan kesehatan masyarakat sekaligus perlindungan anak dari rokok. “Bahkan beberapa ketentuan dalam PP 109 sudah lebih ketat dibandingkan dengan FCTC,” terang Budidoyo.

 

BERITA TERKAIT

HBA dan HMA April 2024 Telah Ditetapkan

NERACA Jakarta – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah resmi menetapkan Harga Batubara Acuan (HBA) untuk…

Program Making Indonesia 4.0 Tingkatkan Daya Saing

NERACA Jerman – Indonesia kembali berpartisipasi dalam Hannover Messe 2024, acara pameran industri terkemuka yang merupakan salah satu satu pameran…

Le Minerale Favorit Konsumen Selama Ramadhan 2024

Air minum kemasan bermerek Le Minerale sukses menggeser AQUA sebagai air mineral favorit konsumen selama Ramadhan 2024. Hal tersebut tercermin…

BERITA LAINNYA DI Industri

HBA dan HMA April 2024 Telah Ditetapkan

NERACA Jakarta – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah resmi menetapkan Harga Batubara Acuan (HBA) untuk…

Program Making Indonesia 4.0 Tingkatkan Daya Saing

NERACA Jerman – Indonesia kembali berpartisipasi dalam Hannover Messe 2024, acara pameran industri terkemuka yang merupakan salah satu satu pameran…

Le Minerale Favorit Konsumen Selama Ramadhan 2024

Air minum kemasan bermerek Le Minerale sukses menggeser AQUA sebagai air mineral favorit konsumen selama Ramadhan 2024. Hal tersebut tercermin…