Mengerek Cukai Rokok

Rencana kenaikan cukai rokok kini menjadi pembahasan antara pemerintah dan instansi terkait lainnya, sebagai upaya menaikkan penerimaan negara di tahun mendatang. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007, Barang Kena Cukai  (BKC) adalah barang tertentu yang mempunyai sifat dan atau karakteristik tertentu yaitu: 1) konsumsinya perlu dikendalikan, 2) peredarannya perlu diawasi, 3) pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup, 4) pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan. Cukai dikenakan terhadap produk etil alkohol, Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA) serta hasil tembakau (tembakau iris, sigaret, rokok daun, cerutu, dan hasil olahan tembakau lainnya). Dasar pengenaan cukai adalah Harga Jual Eceran (HJE) atau harga bandrol.

Selain cukai, rokok juga dikenai pajak daerah, dengan istilah Pajak Rokok. Hal ini diatur pada PP Nomor 55 Tahun 2016 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Pemungutan Pajak Daerah, dengan tarif sebesar 10% dari nilai cukai, dan harus disetorkan ke rekening kas umum daerah provinsi sesuai proporsi jumlah penduduk.  Pajak tersebut dipungut bersamaan dengan pemungutan cukai oleh instansi yang berwenang. Penerimaan Pajak Rokok dibagi secara proporsial sebesar 30% untuk provinsi dan 70% untuk kabupaten/kota yang termasuk dalam wilayah provinsi terkait.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) juga dikenakan terhadap penjualan rokok sesuai ketentuan pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 207/PMK.010/2016 tentang Perubahan atas PMK 174/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Penghitungan dan Pemungutan PPN atas Penyerahan Hasil Tembakau. Dasar pengenaan pajaknya adalah Nilai Lain, yaitu Harga Jual Eceran (HJE) yang didalamnya sudah termasuk cukai dan pajak rokok. Tarif efektif PPN ditetapkan sebesar 9,1%.

Saat ini terdapat  empat produsen rokok besar yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia yaitu: 1) PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk. (HMSP),  2) PT Gudang Garam, Tbk. (GGRM), 3) PT Bentoel Internasional Investama Tbk. (RMBA) dan 4) PT Wismilak Inti Makmur (WIIM). Selain itu, masih banyak produsen berskala besar lain seperti PT Djarum dan PT Nojorono Tobacco International, serta ratusan produsen berbentuk Usaha Kecil dan Menengah (UMKM). Data dari Direktorat Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian  menyatakan bahwa produksi rokok secara nasional mencapai 332,3 miliar batang pada tahun 2018.

Sampoerna merupakan market leader yang menguasai 33% pasar rokok nasional, dengan nama Djisamsoe, Marlboro, A Mild, U Mild, Magnum dan Sampoerna. Perusahaan yang dimiliki oleh PT Phillip Morris Indonesia (PMI) (92,5%) dan publik (7,5%) ini memiliki 7 pabrik yang mampu menjual 101,4 miliar batang rokok dan membukukan laba bersih sebesar Rp 13,6 triliun di tahun 2018, naik 9,42% dari tahun 2017 yang sebesar Rp12.483 triliun. Saham PMI 100% dimiliki oleh Philip Morris Investment BV (Belanda), yang merupakan kepanjangan tangan dari Philip Morris International, produsen rokok bermerk “Marlboro” yang bermarkas di  New York, Amerika Serikat.

Gudang Garam mencatat kenaikan penjualan sebesar 8,3% dari 79 miliar batang rokok di tahun 2017 menjadi 85,2 miliar, dan memperolah laba bersih sebesar Rp 7,79 triliun di tahun 2018. Pabriknya yang berada di 2 lokasi yaitu Kediri dan Pasuruan, memproduksi rokok bernama Gudang Garam, Surya, Sriwedari, Djaja, dan Klobot. Perusahaan ini dimiliki oleh pengusaha lokal dan 23% sahamnya dijual di bursa.

Bentoel menguasai 8% pangsa pasar rokok dalam negeri dengan produknya Bentoel Biru, Lucky Strike, Ardath, Dunhill, Pall Mall, Star Mild, dll. Perusahaan yang memiliki pabrik di Malang, Jawa Timur ini memproduksi 181.925 ton tembakau dari 186 ribu hektar lahan yang dimilikinya. Selain dijual di pasar domestik, tembakau dan hasil olahannya berupa rokok kretek dan rokok putih di ekspor ke 19 negara. Meskipun selalu membukukan rugi bersih sejak 7 tahun terakhir, sebenarnya laba kotor Bentoel naik 26,98% dari Rp2,1 triliun di tahun 2017 menjadi Rp2,66 triliun di tahun 2018. Bentoel dimiliki oleh British American Tobacco Ltd (92,48%), United Bank of Switzerland (7,29%), dan publik (0,23%).

Wismilak yang pabriknya berlokasi di Bojonegoro, Jawa Timur ini memproduksi rokok dengan merk Wismilak, Diplomat, Galan, dan cerutu Wismilak. Pemegang sahamnya adalah  pengusaha lokal dan publik sebesar 32,57%. Meskipun mengalami penurunan volume penjualan sebesar 4% yaitu Rp1,41 triliun di tahun 2018 sedangkan sebelumnya di tahun 2017 sebesar Rp1,48 triliun, tetapi Wismilak berhasil mencatat laba sebesar Rp51,14 miliar, naik 40,59% dari 2017 yang sebesar Rp40,59 miliar.

Tahun lalu pemerintah menaikkan cukai rokok sebesar rata-rata 10,4% melalui PMK  146/PMK.010/2017 yang berlaku mulai 1 Januari 2018. Berdasarkan data empiris laporan keuangan perusahaan rokok tersebut di atas, kenaikan cukai  tersebut ternyata secara umum tidak menurunkan performa keuangan perusahaan di tahun 2018. Sebagian besar masih memperolah keuntungan dari kegiatan bisnis yang dijalankan.

Jumlah rupiah yang bisa dihimpun negara dari cukai dan pajak yang dibayar oleh perusahaan-perusahaan tersebut tentu tidak sedikit. Rencana kenaikan tarif cukai dan pajak akan mendongkrak penerimaan negara secara signifikan. Di sisi lain, upaya ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat dengan cara membatasi daya beli masyarakat terhadap produk tembakau dan turunannya.

Namun dalam hal peredaran rokok ilegal dan cukai palsu,  saatnya perlu kerja keras jajaran Ditjen Bea Cukai dan instansi terkait untuk melakukan serangkaian tindakan preventif berupa penyuluhan/sosialisasi kepada masyarakat maupun tindakan represif berupa penindakan terhadap produsen dan operasi pasar secara rutin. Bagaimana penerimaan negara akan meningkat dari pendapatan cukai rokok, jika pasar ilegal peredaran rokok masih ada?

BERITA TERKAIT

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…