Oleh : Agus Yuliawan
Pemerhati Ekonomi Syariah
Sudah tak asing lagi dalam kebijakan ekonomi khususnya dalam penyerapan tenaga kerja dan pengentasan kemiskinan, pemerintah selalu mengajak kepada lembaga keuangan mikro (LKM) dan koperasi, baik konvensional dan syariah untuk terlibat. Bahkan, tak tanggung–tanggung pemerintah melalui pendekatan kebijakan publik membuat program keuangan inklusi yang mendorong perkuatan permodalan yang mampu sinergikan antara LKM dan koperasi. Dengan demikian diharapkan, masyarakat yang tak mampu tersentuh dengan perbankan atau keuangan bisa terlayani dengan pendekatan skema executing & chanelling programm.
Namun sangat disayangkan, konsep pembiayaan executing & chanelling kepada koperasi syariah yang secara teoritas enak dipandang, namun dalam kenyataannya program – program tersebut sulit untuk dilaksanakan oleh LKM dan koperasi. Maka wajar saja, apabila dalam laporan program – program pembiayaan mikro kepada LKM dan koperasi pada penyalurannya kurang maksimal karena banyaknya faktor yang mempengaruhinya.
Lantas apa yang salah ? Mengapa program keuangan inklusi yang bagus tersebut tak mampu terserap dengan baik. Bahkan terkadang, untuk mencapai sebuah target yang diinginkan mekanisme penyaluran dana melalui perbankan daerah bernama BPD atau lembaga BUMN sebagai jangkarnya. Sehingga dampaknya menjadikan margin rate atau bagi hasil kepada koperasi atau LKM dan and user menjadi bertambah besar. Melihat realitas tersebut seolah–olah program perkuatan permodalan kepada pelaku usaha wong cilik yang digembar–gemborkan oleh media massa tak mampu menjawab persoalan yang sesungguhnya.
Problem itu apabila diamati dan dikaji secara dalam, ketidakberhasilan di berbagai program tersebut lebih disebabkan oleh adanya ambiguitas dari pemerintah dalam memahami tentang microfinance di Indonesia. Dalam berbagai studi yang dilakukan oleh para pegiat koperasi syariah selalu menyimpulkan, tak akan bisa berhasil apabila sudut pandang pemerintah dalam memaknai penyaluran pembiayaan kepada koperasi dan LKM dengan pendekatan perbankan. Dimana ada mitigasi risiko dan legal aspek yang sangat ketat yang diberlakukan kepada koperasi syariah. Sehingga apabila dipaksakan tak akan mungkin, itu mampu dilakukan oleh para pelaku koperasi dan LKM.
Memang secara normatif dalam sudut pandang perbankan setiap penyaluran pembiayaan ada penjaminan yang harus diberikan kepada lembaga pemberi pembiayaan. Penjaminan tersebut adalah berupa aset yang dimiliki oleh koperasi yang bersangkutan dan apabila masih dirasakan kurang bisa ditambah dengan asuransi pembiayaan dan lembaga penjaminan. Konsep itu dilakukan sebagai bentuk dari mitigasi risiko agar pemberi pembiayaan tak akan merugi secara besar jika terjadinya kredit macet (fraud) pada lembaga koperasi tersebut. Sudut pandang itu sejauh ini sering kali tak ketemu antara pemerintah dan para pelaku koperasi. Hal tersebut lebih disebabkan oleh lembaga koperasi itu sendiri sebagai badan hukum dimiliki oleh para anggota bukan dimiliki oleh personal.
Sehingga sangat sulit kalau di koperasi dilakukan collateral personal guarantee untuk memenuhi penjaminan dalam pembiayaan sebagai mana legal yang diinginkan di skema pembiayaan pemerintah. Belum lagi dengan aturan cash colateral call (CCC) sekitar 20–30% dalam tiap pembiayaan yang telah dicairkan dan ditambah dengan kewajiban membayar angsuran pembayaran 100%. Jelas hal ini membuat ketidakmanusiawian dalam tata kelola sistem keuangan. Maka wajar sekali skema pembiayaan yang demikian meskipun disupport oleh pemerintah secara full tak akan laku terserap secara merata.
Untuk itu supaya ambiguitas pembiayaan mikro pemerintah ini tak berlarut–larut harus ada sebuah kebijakan pemerintah yang populis dalam rangka penyerapan program pemerintah yang tepat dengan sasarannya. Diantaranya adalah menyamakan persepsi pemerintah terhadap sudut pandang keuangan mikro khususnya adalah koperasi dan LKM, dengan demikian ada regulasi tersendiri yang dibangun dalam sistem keuangan koperasi dan LKM yang berbeda dengan sistem keuangan perbankan. Jika ini ter-maindset dalam ranah pemikiran pemerintah sebagai kebijakan publik, maka setiap program keuangan inklusi yang disalurkan melalui lembaga koperasi akan dengan mudah role dan monitoringnya dengan jelas.
Ditambah lagi sangat penting bagi pemerintah menerbitkan sebuah indeks koperasi maupun lembaga keuangan mikro (LKM) dalam tiap tahunya, hal ini bertujuan karena masih banyaknya koperasi dan LKM di masyarakat yang memiliki integritas dan akuntabilitas dalam komitnya sebagai keuangan inklusi. Untuk itu daya jelajah penglihatan pemerintah dalam perspektif LKM dan koperasi harus diperluas sehingga akan mengurangi ambiguitas kebijakan yang berdampak pada rabunitas dalam memaknai lembaga keuangan mikro yang berkembang di masyarakat.
Oleh: Zulkifli Hasan Menteri Perdagangan Neraca perdagangan Indonesia kembali mencatatkan surplus pada periode Februari 2024 sebesar USD0,87 miliar. Surplus ini…
Oleh: Rama Satria Pengamat Kebijakan Publik Situasi di masyarakat saat ini relatif kondusif pasca penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…
Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Memasuki pertengahan bulan suci Ramadhan seperti ini ada dua arus perspektif yang menjadi fenomena…
Oleh: Zulkifli Hasan Menteri Perdagangan Neraca perdagangan Indonesia kembali mencatatkan surplus pada periode Februari 2024 sebesar USD0,87 miliar. Surplus ini…
Oleh: Rama Satria Pengamat Kebijakan Publik Situasi di masyarakat saat ini relatif kondusif pasca penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…
Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Memasuki pertengahan bulan suci Ramadhan seperti ini ada dua arus perspektif yang menjadi fenomena…