Esensi Kementerian/Lembaga untuk Lingkungan Hidup

Oleh: Amanda Katili Niode, Ph.D., Manager, Climate Reality Indonesia

Menjelang pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI yang tentunya akan diikuti dengan pengumuman kabinet periode pemerintahan 2019-2024, sejumlah pertanyaan mengemuka tentang berbagai kementerian dan lembaga pemerintah. Salah satunya adalah mengenai peran kementerian dan/atau lembaga yang bertugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup.

Sesungguhnya, dimensi masalah lingkungan hidup, baik yang ada di tingkat lokal, nasional, regional maupun global jauh melebihi kemampuan hanya satu kementerian atau lembaga untuk mengatasinya.

Kasus lingkungan lokal maupun nasional dapat digambarkan sebagai persoalan yang sehari-hari dialami langsung oleh masyarakat seperti pencemaran sungai dan  polusi udara. Masalah lingkungan regional meliputi perkara antar negara seperti masuknya sampah impor tanpa sepengetahuan negara penerimanya. Sedangkan masalah lingkungan global adalah krisis iklim, pemicu berbagai bencana yang mengancan penghidupan masyarakat.

Global Risks Report 2019 yang diluncurkan World Economic Forum menjelaskan bahwa risiko lingkungan sangat dominan, termasuk cuaca ekstrem ditambah kegagalan menyikapi perubahan iklim. Punahnya keanekaragaman hayati juga akan berimplikasi pada kesejahteraan, produktivitas, dan bahkan keamanan regional.

Pelbagai masalah baru terus bertambah, bersamaan dengan gelombang data yang terus menyerbu, mencerminkan dampak kegiatan manusia yang semakin mencemari lingkungannya.

Problem lingkungan akibat kegiatan manusia umumnya disebabkan oleh penggunaan sumber daya alam yang tidak berkelanjutan, tanpa memikirkan generasi mendatang. Selain itu juga karena limpahan pencemar yang melebihi kapasitas lingkungan untuk menyerapnya.
 
Usaha awal untuk menerangkan bagaimana manusia mencemari buminya diformulasikan hampir 50 tahun lalu, oleh  ilmuwan Paul Ehrlich dan John Holdren. Mereka merumuskan Model IPAT yang yang hingga kini masih menjadi rujukan namun juga diperdebatkan. Formula itu dijabarkan sebagai Dampak (Impact) sama dengan Jumlah Penduduk (Population) dikali Kemakmuran (Affluence) dikali Teknologi (Technology).
 
Peneliti Donella Meadows menyederhanakan keterangan Model IPAT tersebut sebagai: “Kerusakan yang dilakukan manusia terhadap bumi dapat digambarkan sebagai jumlah manusia di bumi, dikalikan dengan jumlah barang yang digunakan setiap orang, dikalikan dengan jumlah pencemaran karena pembuatan dan penggunaan barang-barang tersebut.”
 
Kajian tentang penyebab masalah lingkungan akan terus berkembang dan memang diperlukan untuk mencari solusi teknisnya. Setidaknya cara bagaimana mengatasi berbagai kasus yang ada sudah dipikirkan atau ditemukan oleh kelompok peneliti maupun perwakilan instansi pemerintah.
 
Selain solusi teknis modern, ada pula kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Sayangnya, kearifan yang umumnya mencakup nilai-nilai, budaya dan ideologi ini kadang luput dari perhatian masyarakat luas. Sebagai contoh adalah falsafah Memayu Hayuning Bawana pada masyarakat Jawa dan Tri Hita Karana di Bali.
 
Model tata kelola lingkungan yang ideal, seperti permah dipaparkan di laporan GEO 6 dari Badan PBB untuk Lingkungan Hidup (UNEP) harus berdasarkan pada kebijakan yang dirancang dengan baik, diikuti pelaksanaan dan penegakannya. Model-model seperti itu mutlak mencermati sinyal-sinyal awal dari sains maupun masyarakat dan memastikan pengawasan memadai dan investasi untuk pengetahuan.

Jika di masa lalu masalah lingkungan hidup menjadi tanggung jawab pemerintah untuk mengatasinya, kini peranan pelaku di luar unsur pemerintah (aktor non-negara) semakin krusial. Mereka diperlukan untuk prakarsa kerja sama yang konkret, ambisius dan berkesinambungan.

Dalam kesepakatan internasional perubahan iklim, yang dimaksud dengan aktor non-negara adalah kota, wilayah dan entitas sub-nasional lainnya, dunia usaha, masyarakat sipil, masyarakat adat, perempuan, pemuda, dan perguruan tinggi. Mereka dapat bertindak sebagai entitas individual atau bermitra dengan pemangku kepentingan lainnya.

Walaupun peran aktor non-negara diakui, fungsi pemerintah dan koordinasi antar kementerian/lembaga mutlak diperlukan, karena dari situlah ditetapkan peraturan perundang-undangan di bidang  lingkungan hidup yang jika ditegakkan akan memberikan dampak positif lebih besar dibandingkan dengan hanya upaya seseorang. (www.watyutink.com)

BERITA TERKAIT

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…

BERITA LAINNYA DI Opini

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…