Revisi UU KPK Resmi Menjadi UU No 19 Tahun 2019

Revisi UU KPK Resmi Menjadi UU No 19 Tahun 2019  

NERACA

Jakarta - Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia resmi mencatat revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) ke Lembaran Negara sebagai UU Nomor 19 tahun 2019 tentang Perubahan UU KPK.

"Revisi UU KPK sudah tercatat dalam Lembaran Negara sebagai UU No 19 Tahun 2019 mengenai Perubahan UU KPK, sudah diundangkan di Lembaran Negara Nomor 197 dengan nomor Tambahan Lembar Negara (TLN): 6409 tertanggal 17 Oktober 2019," kata Direktur Jenderal Perundang-undangan Kemenkumham Widodo Ekatjahjana saat dikonfirmasi di Jakarta, Jumat (18/10).

Sebelumnya hingga Kamis, 17 Oktober 2019 atau 30 hari sejak rapat paripurna DPR pada 17 September 2019 yang mengesahkan revisi UU KPK, tidak ada pihak yang menyampaikan bahwa revisi tersebut sudah resmi diundangkan.

Padahal menurut Pasal 73 ayat (2) UU 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam hal RUU tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak RUU tersebut disetujui bersama, RUU tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.

Seharusnya, UU KPK versi revisi pun otomatis berlaku pada 17 Oktober 2019. Namun salinan UU No 19 tahun 2019 itu, menurut Widodo, masih belum dapat disebarluaskan karena masih diteliti oleh Sekretariat Negara."Salinan UU masih diotentifikasi oleh Sekretariat Negara. Setelah itu baru kita publikasikan di website," tambah Widodo.

KPK sebelumnya mengidentifikasi 26 hal yang berisiko melemahkan KPK dalam revisi UU KPK tersebut.

Poin pelemahan itu misalnya KPK diletakkan sebagai lembaga negara di rumpun eksekutif yang akan mengurangi independensi KPK, pegawai KPK merupakan Aparatur Sipil Negara, sehingga ada resiko independensi terhadap pengangkatan, pergeseran dan mutasi pegawai saat menjalankan tugasnya.

Selanjutnya bagian yang mengatur bahwa pimpinan adalah penanggungjawab tertinggi dihapus; Pimpinan KPK bukan lagi Penyidik dan Penuntut Umum sehingga akan beresiko pada tindakan-tindakan pro justicia dalam pelaksanaan tugas penindakan; Dewan Pengawas lebih berkuasa daripada Pimpinan KPK, namun syarat menjadi pimpinan KPK lebih berat dibanding Dewan Pengawas.

Potensi pelemahan lain adalah kewenangan Dewan Pengawas masuk pada teknis penanganan perkara, yaitu memberikan atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan dan penyitaan. Padahal standar larangan Etik, dan anti konflik Kepentingan untuk Dewan Pengawas lebih rendah dibanding Pimpinan dan Pegawai KPK.

OTT menjadi lebih sulit dilakukan karena lebih rumitnya pengajuan penyadapan dan aturan lain yang ada di UU KPK; kewenangan KPK melakukan supervisi dikurangi, yaitu pasal yang mengatur kewenangan KPK untuk melakukan pengawasan, penelitian, atau penelahaan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenang terhadap instansi yang melakukan pelayanan publik tidak ada lagi dan potensi pelemahan lainnya. 

Sementara, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta agar Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan UU KPK segera dipublikasikan.

"Jadi, KPK juga berharap agar Undang-Undang yang resmi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tersebut segera dipublikasikann sehingga bisa menjadi pedoman bagi semua pihak khususnya KPK dalam pelaksanaan tugas," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Jumat (18/10).

Ia menyatakan jangan sampai ada kondisi ketidakpastian hukum karena Undang-Undang tersebut belum dipublikasikan."Apalagi kalau sampai ada kondisi kekosongan hukum karena itu sangat berisiko bagi upaya pemberantasan korupsi," ungkap Febri.

Lebih lanjut, ia juga mengatakan dari koordinasi informal dengan pihak Kementerian Hukum dan HAM, UU KPK hasil revisi tersebut sudah berlaku sejak Kamis (17/10).

"Jadi, terkait perubahan Undang-Undang KPK itu dari koordinasi informal yang sudah kami lakukan kemarin sudah ada nomor dan sudah diundangkan, itu koordinasi informal yang kami lakukan denan pihak Kementerian Hukum dan HAM dan berlakunya itu sejak 17 Oktober 2019. Artinya perkemarin sebenarnya sudah berlaku sejak tanggal diundangkan," tutur dia.

Namun, kata dia, yang menjadi persoalan sampai saat ini adalah lembaganya belum mendapatkan dokumen resmi UU Nomor 19 Tahun 2019 tersebut.

"Jadi, KPK tidak pernah mengetahui secara persis bagaimana sebenarnya isi secara detil Undang-Undang resmi yang sudah disahkan atau diundangkan tersebut. Memang ada dokumen-dokumen yang diedarkan pada saat paripurna tetapi tentu saja sebagai penegak hukum, kami harus tetap melandaskan tindakan-tindakan yang dilakukan dengan dasar yang jelas dan Undang-Undang yang resmi," kata Febri. Ant

 

 

 

BERITA TERKAIT

Grab Raih Sertifikat Kepatuhan Persaingan Usaha

NERACA Jakarta - Grab Indonesia menjadi perusahaan berbasis teknologi pertama penerima sertifikat penetapan program kepatuhan persaingan usaha menurut Komisi Pengawas…

KPK: Anggota Dewan Harus Mewariskan Budaya Antikorupsi

NERACA Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengatakan anggota dewan harus mewariskan budaya antikorupsi. “Tantangan terbesar…

KPPU: Skema Denda di UU Cipta Kerja Guna Beri Efek Jera

NERACA Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengatakan skema denda yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) bertujuan…

BERITA LAINNYA DI Hukum Bisnis

Grab Raih Sertifikat Kepatuhan Persaingan Usaha

NERACA Jakarta - Grab Indonesia menjadi perusahaan berbasis teknologi pertama penerima sertifikat penetapan program kepatuhan persaingan usaha menurut Komisi Pengawas…

KPK: Anggota Dewan Harus Mewariskan Budaya Antikorupsi

NERACA Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengatakan anggota dewan harus mewariskan budaya antikorupsi. “Tantangan terbesar…

KPPU: Skema Denda di UU Cipta Kerja Guna Beri Efek Jera

NERACA Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengatakan skema denda yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) bertujuan…