Menimbang Rencana Kenaikan Cukai dan Pajak Rokok

 

Oleh: Endah Sitarasmi, Staf Ditjen Pajak 

 

Silang pendapat antara Perkumpulan Bulutangkis (PB) Djarum dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) baru saja usai, tetapi perdebatan pro dan kontra di masyarakat terkait industri rokok dan kontribusi kepada negara masih terus berlanjut.

Pada rapat terbatas di Istana Merdeka Jumat sore (13/9/2019), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan kenaikan cukai rokok rata-rata sebesar 23% dan Harga Jual Eceran (HJE)  sebesar  35% yang akan berlaku mulai 1 Januari 2020. Petunjuk teknis terkait mekanisme dan proporsi kenaikan tersebut akan dituangkan ke dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Senada dengan Menteri Keuangan, Dirjen Bea Cukai Darmin Nasution pada acara Indotrans Expo 2019 di Jakarta, Sabtu (14/9/2019), menyatakan bahwa ada 3 alasan obyektif dibalik kenaikan cukai rokok yaitu: alasan kesehatan, penerimaan negara dan kesempatan kerja.

Gagasan tentang perlunya kenaikan cukai rokok ini sebelumnya juga disampaikan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) melalui Ketua Pengurus Harian Tulus Abadi.  "Atau yang urgen adalah menaikkan cukai rokok secara signifikan, dan persentase kenaikan cukai rokok itu sebagiannya langsung dialokasikan untuk memasok subsidi ke BPJS Kesehatan," jelasnya dalam keterangan tertulis, Kamis (29/8/2019).

Pendapat berbeda disampaikan oleh Henry Najoan, Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI). Pada siaran pers Minggu, (15/9/2019) Henry menyatakan kekhawatirannya bahwa kenaikan tarif tersebut akan memberatkan Industri Hasil Tembakau (IHT) dan berpotensi meningkatkan produksi rokok ilegal.

Pembicaraan tentang kenaikan tarif cukai dan pajak rokok ini sebenarnya sudah mengemuka sejak beberapa tahun terakhir. Peredaran rokok yang semakin masif dan tingginya pertumbuhan jumlah perokok aktif terutama di kalangan generasi muda meresahkan banyak kalangan. Tobacco Atlas menyatakan bahwa Indonesia menduduki peringkat ketiga dalam kategori negara dengan konsumsi rokok terbesar di dunia, setelah China dan India. Harga yang terlalu murah menjadi salah satu penyebab terus meningkatnya konsumsi rokok. Benchmark tarif pajak menurut WHO adalah 70%, sedangkan tarif di Indonesia saat ini hanya 49,45%.

World Health Organization (WHO) Regional Asia Tenggara dalam rilisnya bertajuk: Fact Sheet 2018 Indonesia, menyatakan bahwa rokok telah membunuh 225.720 jiwa melalui penyakit jantung, infeksi pernafasan, kanker, dll. Persentase kematian akibat rokok mencapai  14,7% dari seluruh angka kematian selama tahun 2018.

Selain itu, WHO juga bekerjasama dengan pemerintah Indonesia melakukan survei Global Youth Tobacco Survey (GYTS) periode tahun 2014 (rilis terakhir). Survei ini menggunakan metode kuesioner yang melibatkan 72 sekolah dengan total responden sejumlah 5.986 siswa kelas 7 - 9 berusia 13 -15 tahun. Hasil survey menyatakan bahwa  jumlah siswa yang merokok menyentuh angka 20,3%, artinya 1 dari 5 anak adalah perokok. Angka yang cukup mengejutkan.

Pemerintah mengambil peran dalam mengendalikan peredaran rokok, diantaranya melalui cukai dan pajak. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007, Barang Kena Cukai  (BKC) adalah barang tertentu yang mempunyai sifat dan atau karakteristik tertentu yaitu: 1) konsumsinya perlu dikendalikan, 2) peredarannya perlu diawasi, 3) pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup, 4) pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan. Cukai dikenakan terhadap produk etil alkohol, Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA) serta hasil tembakau (tembakau iris, sigaret, rokok daun, cerutu, dan hasil olahan tembakau lainnya). Dasar pengenaan cukai adalah Harga Jual Eceran (HJE) atau harga bandrol.

Selain cukai, rokok juga dikenai pajak daerah, dengan istilah Pajak Rokok. Hal ini diatur pada Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2016 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Pemungutan Pajak Daerah, dengan tarif sebesar 10% dari nilai cukai, dan harus disetorkan ke rekening kas umum daerah provinsi sesuai proporsi jumlah penduduk.  Pajak tersebut dipungut bersamaan dengan pemungutan cukai oleh instansi yang berwenang. Penerimaan Pajak Rokok dibagi secara proporsial sebesar 30% untuk provinsi dan 70% untuk kabupaten/kota yang termasuk dalam wilayah provinsi terkait.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) juga dikenakan terhadap penjualan rokok sesuai ketentuan pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 207/PMK.010/2016 tentang Perubahan atas PMK 174/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Penghitungan dan Pemungutan PPN atas Penyerahan Hasil Tembakau. Dasar pengenaan pajaknya adalah Nilai Lain, yaitu Harga Jual Eceran (HJE) yang didalamnya sudah termasuk cukai dan pajak rokok. Tarif efektif PPN ditetapkan sebesar 9,1%.

Saat ini terdapat  4 produsen rokok besar yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia yaitu: 1) PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk. (HMSP),  2) PT Gudang Garam, Tbk. (GGRM), 3) PT Bentoel Internasional Investama Tbk. (RMBA) dan 4) PT Wismilak Inti Makmur (WIIM). Selain itu, masih banyak produsen berskala besar lain seperti PT Djarum dan PT Nojorono Tobacco International, serta ratusan produsen berbentuk Usaha Kecil dan Menengah (UMKM). Data dari Direktorat Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian  menyatakan bahwa produksi rokok secara nasional mencapai 332,3 miliar batang pada tahun 2018.

Sampoerna merupakan market leader yang menguasai 33% pasar rokok nasional, dengan nama Djisamsoe, Marlboro, A Mild, U Mild, Magnum dan Sampoerna. Perusahaan yang dimiliki oleh PT Phillip Morris Indonesia (PMI) (92,5%) dan publik (7,5%) ini memiliki 7 pabrik yang mampu menjual 101,4 miliar batang rokok dan membukukan laba bersih sebesar Rp 13,6 triliun di tahun 2018, naik 9,42% dari tahun 2017 yang sebesar Rp12.483 triliun. Saham PMI 100% dimiliki oleh Philip Morris Investment BV (Belanda), yang merupakan kepanjangan tangan dari Philip Morris International, produsen rokok bermerk “Marlboro” yang bermarkas di  New York, Amerika Serikat.

Gudang Garam mencatat kenaikan penjualan sebesar 8,3% dari 79 miliar batang rokok di tahun 2017 menjadi 85,2 miliar, dan memperolah laba bersih sebesar Rp 7,79 triliun di tahun 2018. Pabriknya yang berada di 2 lokasi yaitu Kediri dan Pasuruan, memproduksi rokok bernama Gudang Garam, Surya, Sriwedari, Djaja, dan Klobot. Perusahaan ini dimiliki oleh pengusaha lokal dan 23% sahamnya dijual di bursa.

Bentoel menguasai 8% pangsa pasar rokok dalam negeri dengan produknya Bentoel Biru, Lucky Strike, Ardath, Dunhill, Pall Mall, Star Mild, dll. Perusahaan yang memiliki pabrik di Malang, Jawa Timur ini memproduksi 181.925 ton tembakau dari 186 ribu hektar lahan yang dimilikinya. Selain dijual di pasar domestik, tembakau dan hasil olahannya berupa rokok kretek dan rokok putih di ekspor ke 19 negara. Meskipun selalu membukukan rugi bersih sejak 7 tahun terakhir, sebenarnya laba kotor Bentoel naik 26,98% dari Rp2,1 triliun di tahun 2017 menjadi Rp2,66 triliun di tahun 2018. Bentoel dimiliki oleh British American Tobacco Ltd (92,48%), United Bank of Switzerland (7,29%), dan publik (0,23%).

Wismilak yang pabriknya berlokasi di Bojonegoro, Jawa Timur ini memproduksi rokok dengan merk Wismilak, Diplomat, Galan, dan cerutu Wismilak. Pemegang sahamnya adalah  pengusaha lokal dan publik sebesar 32,57%. Meskipun mengalami penurunan volume penjualan sebesar 4% yaitu Rp1,41 triliun di tahun 2018 sedangkan sebelumnya di tahun 2017 sebesar Rp1,48 triliun, tetapi Wismilak berhasil mencatat laba sebesar Rp51,14 miliar, naik 40,59% dari 2017 yang sebesar Rp40,59 miliar.

Tahun lalu pemerintah menaikkan cukai rokok sebesar rata-rata 10,4% melalui PMK  146/PMK.010/2017 yang berlaku mulai 1 Januari 2018. Berdasarkan data empiris laporan keuangan perusahaan rokok tersebut di atas, kenaikan cukai  tersebut ternyata secara umum tidak menurunkan performa keuangan perusahaan di tahun 2018. Sebagian besar masih memperolah keuntungan dari kegiatan bisnis yang dijalankan.

Jumlah rupiah yang bisa dihimpun negara dari cukai dan pajak yang dibayar oleh perusahaan-perusahaan tersebut tentu tidak sedikit. Rencana kenaikan tarif cukai dan pajak akan mendongkrak penerimaan negara secara signifikan. Di sisi lain, upaya ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat dengan cara membatasi daya beli masyarakat terhadap produk tembakau dan turunannya.

Dalam hal peredaran rokok ilegal dan cukai palsu,  perlu kerja keras jajaran Ditjen Bea Cukai dan instansi terkait untuk melakukan serangkaian tindakan preventif berupa penyuluhan/sosialisasi kepada masyarakat maupun tindakan represif berupa penindakan terhadap produsen dan operasi pasar secara rutin.

 

BERITA TERKAIT

Upaya Kurangi Intensitas Hujan dan Banjir via Operasi Modifikasi Cuaca

    Oleh: Melati Cahaya Ramadhani, Pemerhati Kebijakan Publik Pemerintah terus berupaya mengatasi dampak banjir yang melanda kawasan Jabodetabek dengan…

Komitmen Tegas Pemerintah Berantas Korupsi Energi dan Jamin Kualitas BBM

    Oleh: Dhita Karuniawati,  Peneliti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia   Pemerintah melalui Pertamina terus berkomitmen untuk menjaga…

Kebijakan Presiden Beri Harapan Baru bagi Pelaku Ekonomi Kreatif

    Oleh: Karina Dzikra, Pengamat Ekonomi    Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto membawa harapan baru bagi sektor ekonomi kreatif yang…

BERITA LAINNYA DI Opini

Upaya Kurangi Intensitas Hujan dan Banjir via Operasi Modifikasi Cuaca

    Oleh: Melati Cahaya Ramadhani, Pemerhati Kebijakan Publik Pemerintah terus berupaya mengatasi dampak banjir yang melanda kawasan Jabodetabek dengan…

Komitmen Tegas Pemerintah Berantas Korupsi Energi dan Jamin Kualitas BBM

    Oleh: Dhita Karuniawati,  Peneliti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia   Pemerintah melalui Pertamina terus berkomitmen untuk menjaga…

Kebijakan Presiden Beri Harapan Baru bagi Pelaku Ekonomi Kreatif

    Oleh: Karina Dzikra, Pengamat Ekonomi    Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto membawa harapan baru bagi sektor ekonomi kreatif yang…