RUU Pertanahan Perlu Kelengkapan Bank Tanah?

 

Oleh:  Rachmatunnisya, SH., LLM., Widyaiswara BPLK Kemenkeu

 

Mendekati berakhirnya masa kerja DPR RI, RUU yang ditargetkan penyelesaiannya pada pertengahan September 2019 ini adalah RUU Pertanahan. Namun, menjelang penetapannya, RUU yang merupakan inisiatif DPR ini, menyisakan dua poin penting yang masih tertunda persetujuannya. Salah satu poin tersebut adalah terkait pembentukan lembaga pengelolaan tanah, atau bank tanah.

Apa sesungguhnya fungsi dan urgensi pembentukan lembaga bank tanah dalam tatanan hukum pertanahan di Indonesia? Jika memang sangat diperlukan, apakah harus dibentuk lembaga baru? Apakah tidak sebaiknya fungsi bank tanah ini dimasukkan atau dilekatkan saja pada tugas dan fungsi lembaga pemerintah yang telah ada saat ini?

RUU Pertanahan yang merupakan lex specialis dari UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) disusun untuk memperkuat, menjawab, dan mengatasi berbagai permasalahan pertanahan, antara lain masalah ketimpangan lahan, sengketa pertanahan, kepastian hukum, dan penyediaan tanah untuk pembangunan. Salah satu solusi atas permasalahan pertanahan yang diusung oleh RUU Pertanahan adalah pembentukan bank tanah.

Menurut AP Parlindungan, pengarang banyak buku hukum pertanahan di Indonesia, konsep bank tanah sangat tepat digunakan untuk mengamankan lokasi pembangunan dan pengendalian harga tanah dari para spekulan tanah. Sejalan dengan pendapat tersebut, Maria SW Sumardjono, guru besar hukum agraria dari Universitas Gadjah Mada, menyatakan bahwa secara umum bank tanah dimaksudkan sebagai suatu kegiatan pemerintah untuk menyediakan tanah, yang akan dialokasikan penggunaannya di kemudian hari. Dilihat dari fungsinya, bank tanah dapat dibagi menjadi dua kategori, yakni bank tanah umum (general land banking) dan bank tanah khusus (special atau project land banking).

Dalam pengertian bank tanah umum, tercantum kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh badan milik pemerintah untuk menyelenggarakan penyediaan, pematangan, dan penyaluran tanah untuk semua jenis penggunaan tanah, baik publik maupun privat, tanpa ditentukan terlebih dahulu penggunaannya. Masih menurut Maria SW Sumardjono, tujuan dari bank tanah umum ini adalah untuk mengawasi pola perkembangan daerah perkotaan, mengatur harga tanah, dan/atau memperoleh capital gains dari nilai lebih sebagai akibat investasi publik. Sementara itu, kegiatan bank tanah khusus meliputi penyediaan tanah yang dikhususkan untuk pembaruan daerah perkotaan, pengembangan industri, pembangunan perumahan menengah/sederhana/sangat sederhana dan pembangunan berbagai fasilitas umum/infrastruktur. Jika dibandingkan dengan luar negeri, di Swedia dan di Belanda, kegiatan bank tanah yang dilakukan lebih bersifat bank tanah umum, sedangkan di Amerika Serikat yang lebih menonjol justru kegiatan bank tanah khusus.

Bank Tanah

Lalu kategori bank tanah apa yang akan dibentuk melalui RUU Pertanahan? Di dalam pasal-pasal terkait bank tanah, RUU Pertanahan menyebutkan bahwa pembentukan bank tanah dimaksudkan untuk melaksanakan kegiatan perolehan, pengelolaan, penyediaan, dan pendistribusian tanah secara nasional dan terpadu. Bank tanah akan menjamin ketersediaan tanah dalam rangka kepentingan umum, kepentingan sosial, kepentingan pembangunan, dan pemerataan ekonomi.

Untuk memudahkan pelaksanaan tugas dan fungsinya, kepada bank tanah diberikan kewenangan untuk mengelola keuangan dan aset secara mandiri. Lebih jauh melalui bank tanah diharapkan, tanah-tanah yang tidak berfungsi dan tidak produktif, dikonsolidasikan, untuk kemudian untuk didistribusikan bagi kepentingan masyarakat. Dari sisi kelembagaan, RUU Pertanahan menghendaki agar bank tanah berbentuk badan hukum milik negara, yang mendapatkan modal dari kekayaan negara yang dipisahkan.

Sekjen Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional mengatakan dengan adanya bank tanah, negara menjamin ketersediaan tanah, sehingga jika suatu saat akan mendirikan perumahan rakyat, fasilitas umum, dan kegiatan lain yang membutuhkan tanah/lahan, proses penyediaan lahan bagi kegiatan tersebut akan menjadi mudah. Umpamanya, terkait dengan isu pemindahan ibukota, adanya bank tanah akan membantu menekan laju inflasi tanah sebagai akibat pengumuman pemindahan tersebut. Pada akhirnya disebutkan bahwa pembentukan bank tanah sangat penting untuk menjamin ketersediaan tanah bagi generasi yang akan datang.

Melihat urgensi dan manfaat bank tanah, yang harus dipikirkan kemudian adalah apakah (lagi-lagi) harus dibentuk lembaga negara yang baru? Sejalan dengan konsep penyederhanaan dan perampingan organisasi pemerintah, fungsi bank tanah seharusnya cukup dilekatkan kepada lembaga yang telah ada. Saat ini, telah ada sebuah lembaga, yang salah satu fungsinya terkait dengan fungsi pengadaan tanah untuk pembangunan/infrastruktur. Lembaga tersebut adalah Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN). Lembaga yang pendiriannya diresmikan pada 23 Desember 2016 ini, berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Keuangan, melalui Direktur Jenderal Kekayaan Negara. Bisnis utama LMAN pada awal pendiriannya adalah pengelolaan Barang Milik Negara (BMN), utamanya melaksanakan pendayagunaan BMN yang difokuskan pada pengelolaan properti negara dan jasa konsultasi solusi aset (asset solution) atas pengelolaan aset negara.

Kemudian, sejak tahun 2016, sesuai Perpres No. 102 Tahun 2016 tentang Pendanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Dalam Rangka Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, LMAN menerima tambahan mandat baru. Mandat baru itu adalah pelaksanaan land funding, yakni pendanaan pengadaan tanah proyek-proyek yang tergabung dalam Proyek Strategis Nasional. Dalam kegiatan ini, LMAN menyalurkan anggaran untuk ganti kerugian bidang tanah yang tersebar di ruas jalan tol dan berpotensi memiliki dampak ekonomi. Aset yang dikelola oleh LMAN meliputi barang milik negara dan/atau kekayaan negara lain dan aset hasil pengadaan tanah untuk Proyek Strategis Nasional.

LMAN merupakan unit organisasi noneselon yang menerapkan pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (BLU). Dengan status “BLU Penuh”, LMAN mempunyai kewenangan untuk menjalankan model pola pengelolaan keuangan yang fleksibel, berupa keleluasaan untuk menerapkan praktik bisnis yang sehat. Dengan model ini, pengelolaan keuangan BLU Penuh dikecualikan dari ketentuan pengelolaan keuangan negara pada umumnya. Kriteria ini memenuhi keinginan RUU Pertanahan agar lembaga bank tanah memiliki kemandirian dalam mengelola keuangan dan asetnya.

Namun tidak perlu dikhawatirkan, karena dari sisi pengawasan dan pembinaan, LMAN tetap diawasi oleh Dewan Pengawas LMAN dan satuan pemeriksaan intern (SPI). Selain itu, LMAN juga dapat diperiksa oleh lembaga pemeriksa ekstern seperti Inspektorat Jenderal Kemenkeu, BPKP, ataupun BPK selaku external auditor pemerintah.

Untuk menjamin pelaksanaan tugas pemerintah terutama yang membutuhkan lahan, fungsi Bank tanah memang sangat diperlukan. Bank tanah ini juga dibutuhkan kehadirannya untuk memastikan pengadaan lahan bagi masyarakat yang tidak mampu. Namun pendirian lembaga baru sebagai bank tanah, kiranya juga bukan merupakan alternatif solusi terbaik.

Kita sering terjebak dalam penyelesaian masalah instant, yakni dengan membentuk lembaga baru. Padahal, jika dilihat dari sisi keuangan negara, pembentukan lembaga baru jelas menambah beban belanja negara, antara lain belanja pegawai, belanja penyediaan bangunan kantor, belanja operasional dan banyak hal lain yang membutuhkan pendanaan. Pendanaan yang tentunya menambah beban APBN. Publik juga sudah menilai, tidak semua lembaga baru yang dibentuk pemerintah melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai tujuan pembentukannya. Pendirian lembaga baru untuk bank tanah atau lembaga pengelola tanah menjadi tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk tidak menambah lembaga baru dalam peraturan perundang-undangan. Bukankah struktur organisasi pemerintah diarahkan untuk semakin ramping untuk tujuan efisiensi?

Belum lagi, bank tanah yang baru pasti membutuhkan waktu yang tidak singkat untuk dapat mulai beroperasi menjalankan fungsinya. Mengoptimalkan lembaga yang telah ada, yang tugas dan fungsinya masih sejalan dengan bank tanah, bisa jadi pilihan yang lebih rasional. Yang perlu dipersiapkan pemerintah selanjutnya adalah perluasan mandat kepada LMAN, untuk dapat menjalankan fungsi sebagai bank tanah, sesuai dengan amanat RUU Pertanahan.  

BERITA TERKAIT

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…

BERITA LAINNYA DI Opini

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…