Presiden Ingin Insentif Pajak Bisa Nendang

 

 

NERACA

 

Jakarta - Presiden Joko Widodo meminta agar insentif pajak bagi para pelaku usaha benar-benar "nendang". "Betul-betul dikawal implementasinya sehingga terarah dan betul-betul bisa berikan 'tendangan' yang besar bagi pelaku usaha, artinya bisa nendang," kata Presiden Joko Widodo di kantor presiden Jakarta, Selasa (3/9).

Presiden menyampaikan hal tersebut dalam rapat terbatas (ratas) dengan topik "Reformasi Perpajakan untuk Peningkatan Daya Saing Ekonomi". "Ini kalau tidak salah sudah ratas ke-6 yang membahas mengenai reformasi perpajakan yang sangat penting, bukan hanya untuk mempercepat terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tetapi juga meningkatkan daya saing ekonomi kita, terutama dalam hal investasi dan ekspor," kata Presiden Jokowi.

Tujuannya adalah agar daya tahan ekonomi Indonesia semakin kuat dalam menghadapi ketidakpastian perekonomian global. "Reformasi perpajakan harus terus dilakukan secara menyeluruh, secara komprehensif, baik dari sisi regulasi, dari sisi administrasi, dari sisi penerapan core tax system, penguatan basis data, dan sistem informasi perpajakan, maupun dalam peningkatan Sumber Daya Manusia dalam perpajakan," ungkap Presiden.

Menurut Presiden Jokowi, dengan reformasi perpajakan, selain dapat memiliki sistem pemungutan pajak yang terpercaya namun Indonesia juga memiliki sistem administrasi perpajakan yang efisien, terintegrasi dan tidak kalah pentingnya, selalu update terhadap perkembangan teknologi informasi. "Terkait dari peningkatan daya saing ekspor dan investasi, saya juga meminta kebijakan pemberian insentif perpajakan diberikan seperti perluasan tax holiday, perubahan tax allowance, insentive investment allowance, insentive super deduction untuk pengembangan vokasi dan litbang serta industri padat karya," jelas Presiden.

Namun Presiden Jokowi juga mengingatkan bahwa insentif perpajakan bukan satu-satunyanya penentu peningkatan investasi. "Selain insentif perpajakan faktor lain yang memiliki peranan penting dalam peningkatan ekspor dan investasi adalah perbaikan ekosistem usaha seperti kualitas infrastruktur, penyederhanaan dan percepatan perizinan, serta satu lagi yang tak kalah penting adalah kepastian regulasi termasuk regulasi di bidang perpajakan," kata Presiden.

Presiden Jokowi pun meminta reformasi regulasi perpajakan segera dituntaskan sehingga betul-betul menunjang daya saing ekonomi Indonesia. Hadir dalam rapat terbatas (ratas) tersebut Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukito, Kepala Badan Koordinator Penanaman Modal (BPKM) Thomas Lembong, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko.

Selanjutnya Menteri BUMN Rini Soemarno, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution, Wakil Menteri Luar Negeri Abdurrahman M. Fachir, Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan dan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi

Berdasarkan data di Direktorat Jenderal Pajak (DJP), reformasi perpajakan sudah dilakukan sejak 2002. Reformasi perpajakan jilid I tersebut berlangsung sampai 2008. Dalam periode tersebut DJP melakukan beberapa langkah perubahan seperti pembentukan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) modern (KPP Pratama dan dua KPP Wajib Pajak Besar), amendemen Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) dan Pajak Penghasilan (PPh). Selain itu, diluncurkan program Sunset Policy (penghapusan sanksi administrasi pajak).

Pada 2009-2014 dilakukan reformasi perpajakan jilid II. Dalam rentang waktu tersebut beberapa terobosan dilakukan seperti amendemen Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPN dan PPnBM) serta adanya Sensus Pajak Nasional. Reformasi perpajakan berikutnya adalah lahirnya UU No 11 tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak. Pengampunan pajak atau Tax Amnesti dimulai pada Juli 2016 dan berakhir Maret 2017. Selama masa itu DJP mendapatkan uang tebusan sebesar Rp114,54 triliun berdasarkan laporan tahunan DJP 2017.

Selama 2010-2018 rata-rata pendapatan pajak hanya berkisar 90 persen dari target. Pada 2016, realisasi penerimaan pajak hanya Rp1.105 triliun atau 81 persen. Sementara itu, porsi tertinggi terjadi pada 2011, jumlahnya sebesar Rp743 triliun dari target Rp763 triliun atau 97 persen, sedangkan pada 2018 pajak yang terkumpul adalah Rp1.315 triliun (92 persen dari target). Pendapatan negara dari sektor pajak di 2019 ditargetkan sebesar Rp1.577,5 triliun atau naik 20 persen dari realisasi 2018.

 

BERITA TERKAIT

UU DKJ, Masa Depan Jakarta Dijadikan Pusat Perdagangan Global

UU DKJ, Masa Depan Jakarta Dijadikan Pusat Perdagangan Global NERACA Jakarta - Lahirnya undang-undang tentang Daerah Khusus Jakarta (UU DKJ)…

Pemerintah akan Bentuk Tim Proyek Kereta Cepat Jakarta " Surabaya

  NERACA Jakarta – Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan segera membentuk tim untuk proyek kereta…

Surplus Neraca Perdagangan Terus Berlanjut

  NERACA Jakarta – Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada Maret 2024, Indonesia kembali surplus sebesar 4,47 miliar dolar AS,…

BERITA LAINNYA DI Ekonomi Makro

UU DKJ, Masa Depan Jakarta Dijadikan Pusat Perdagangan Global

UU DKJ, Masa Depan Jakarta Dijadikan Pusat Perdagangan Global NERACA Jakarta - Lahirnya undang-undang tentang Daerah Khusus Jakarta (UU DKJ)…

Pemerintah akan Bentuk Tim Proyek Kereta Cepat Jakarta " Surabaya

  NERACA Jakarta – Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan segera membentuk tim untuk proyek kereta…

Surplus Neraca Perdagangan Terus Berlanjut

  NERACA Jakarta – Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada Maret 2024, Indonesia kembali surplus sebesar 4,47 miliar dolar AS,…