Oleh: Sarwani
Aksioma sejarah berulang terjadi di semua sisi kehidupan, tidak terkecuali ekonomi. Kejayaan dan kemakmuran yang pernah dialami satu negara pada masa lalu bisa terjadi lagi di masa sekarang atau yang akan datang. Demikian juga dengan krisis, suka tidak suka, bisa kembali datang menyapa. Sejarah seperti spiral, berputar kembali ke sisi yang sama dalam lingkungan yang berbeda.
Bahkan pengulangan sejarah itu seperti memiliki ritme sendiri, berpola, terjadi di waktu tertentu; Krisis ekonomi 10 tahunan. Orang mungkin menyebutnya sebagai sebuah kebetulan atau bahkan sebagai sebuah kutukan, nasib sial, atau takdir buruk. Nyatanya ia terjadi pada 10 tahun sebelumnya, atau 10 tahun kemudian.
Segala upaya mencegahan dilakukan agar krisis ekonomi yang pernah terjadi tidak terulang lagi. Namun karena situasi eksternal berubah, teknologi bertambah maju, pemain berganti, dan kewaspadaan mengendur, krisis pun terjadi lagi. Mengobatinya dengan resep lama tidak ampuh lantaran beda penyebab.
Wapres RI Jusuf Kalla menyatakan krisis ekonomi 10 tahunan bisa terjadi seperti pernah dialami Indonesia pada 1998 dan 2008. Sekitar 20 tahun lalu, Indonesia dan Asia diluluhlantakkan oleh gelombang krisis mata uang. Krisis terjadi lagi 10 tahun kemudian dengan episentrum di AS yang berakar pada subprime mortgage bodong. Apakah setelah 10 tahun berlalu, ia akan hadir lagi? Apa tanda-tandanya jika krisis akan terjadi lagi?
Kini peradaban ekonomi dunia sudah berubah, berbeda jauh dengan dulu sehingga berpotensi menimbulkan krisis. Untuk itu wapres yang biasa disapa JK meminta Menko Perekonomian Darmin Nasution dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk siap siaga menghadapinya. Namun apakah cukup hanya dengan siap siaga?
Peradaban ekonomi yang berubah yang dimaksud JK adalah negara liberal seperti AS menjadi proteksionis. Inggris memilih Brexit dan meninggalkan era liberal. Begitu juga dengan China, negara sosialis yang awalnya proteksionis kini mengubah ekonominya menjadi liberal. Bagaimana Indonesia menyikapi perubahan tersebut?
Di samping itu, saat ini ekonomi global sedang mengalami gejolak dengan adanya perang dagang antara AS dan China. Presiden AS Donald Trump mengancam akan mengenakan tarif baru sebesar 10 persen terhadap barang-barang impor China senilai 300 miliar dolar AS mulai 1 September 2019. Tarif tersebut dikenakan terhadap sejumlah barang konsumsi. Kebijakan ini berdampak kepada ekonomi Indonesia dan berpotensi menimbulkan krisis. Kebijakan pemerintah seperti apa untuk mengantisipasinya?
Indonesia beruntung memiliki pasar yang besar. Konsumen di Tanah Air cukup besar untuk menggerakkan perekonomian sehingga tidak begitu tergantung kepada ekonomi luar negeri. Namun apakah tidak perlu ada perbaikan? Apakah puas hanya menjadi juara tahan pukul? Bagaimana dengan kebijakan proaktif mendorong kegiatan ekonomi produktif? (www.watyutink.com)
Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…
Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…
Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…
Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…
Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…
Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…