Mencari The Smart & Wise Fintech

Oleh: Ade Febransyah, Guru Inovasi Prasetiya Mulya Business School

Banyak yang masuk, banyak pula yang keluar!  Itulah aturan besi dalam industri. Di industri pembiayaan tidak terkecuali dengan pendatang baru yakni financial technology (fintech). Salah satu fintech yang bertumbuh pesat adalah peer to peer lending (P2PL). Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), selama tahun 2018, pinjaman yang tersalurkan fintech lending ini mencapai  Rp 22,67 triliun; terjadi pertumbuhan fantastis 785% dari Rp 2,56 triliun di tahun 2017.

Pertumbuhan fantastis juga terjadi  dari jumlah peminjam. OJK mencatat, terjadi lonjakan luar biasa sekitar hampir 600% untuk jumlah peminjam, dari 330.154 peminjam di Januari 2018 menjadi 2,3 juta peminjam di September tahun yang sama. Sementara untuk penyandang dana, terjadi kenaikan hanya 39% dari 115.939 menjadi 161.297 selama periode Januari-September 2018 (Katadata.co.id, 12/12/18). Sementara itu, jumlah fintech lending juga terus bertambah, per Februari 2019 terjadi tambahan 11 fintech baru yang terdaftar di OJK dari sebelumnya 88 fintech di bulan Desember 2018.

Trend & Uncertainty

Masa depan pelaku bisnis dan industrinya selalu menjadi tabir misteri. Seperti apa industri fintech khususnya P2PL di masa mendatang? Akankah tetap atraktif untuk dimasuki pendatang baru? Akankah layanan ini tetap didambakan para peminjam dan pemberi pinjaman?

Untuk melihat seperti apa yang terjadi dengan industri fintech, cobalah lihat berbagai tren maupun ketidakpastian yang mempengaruhinya. Tren pertumbuhan jumlah peminjam, jumlah pemberi pinjaman, dan jumlah dana yang disalurkan  memperlihatkan skenario optimistis dari industri. Hal ini diperkuat dengan kenyataan bahwa masih cukup besar segmen yang belum terjangkau oleh bank.

Tren menguatnya permintaan bisa dijelaskan dari terjawabnya ‘customer pains’ mereka (borrower) yang selama ini sulit mendapatkan pendanaan. Pekerjaan ‘mendanai proyek, bisnis atau keperluan pribadi’ menjadi lebih mudah dan cepat lewat fintech.

Tumbuhnya industri fintech juga dijelaskan oleh kemampuan fintech menjawab ‘customer gains’ dari para penyandang dana (lender). Selain memberikan tingkat pengembalian yang lebih atraktif ketimbang tabungan/deposito bank, keberadaan fintech menawarkan demokratisasi kepada masyarakat untuk menjadi penyandang dana.

Beberapa fintech P2PL mensyaratkan penyertaan dana minimal 100 ribu rupiah. Tidak mengherankan jika kalangan muda sampai usia 40 tahun menjadi mayoritas penyandang dana. Selain manfaat nyata berupa tingkat pengembalian yang tinggi 2 sampai tiga kali dari bunga deposito, ada juga manfaat nirwujud yang dirasakan para lender. Ada kemaknaan baru yang dirasakan lender ketika mendanai pengusaha/pedagang kecil di daerah. Para pedagang ini merupakan tulang punggung ekonomi keluarga dan rakyat yang berdagang warung kecil, sembako, hasil tani dan lainnya.

Selain tren menguat dari aspek ‘desirability’, fintech lending ini menghadirkan uncertainty bagi pelanggan dan pelakunya. Bagi lender yang memiliki profil risiko ‘risk avoider’, layanan ini akan memberikan ‘customer pains’ yang mengganggu mereka. Dalam bisnis pinjam-meminjam, tetap ada risiko keterlambatan pembayaran hingga gagal bayar. Inilah ketidakpastian yang dihindari penghindar risiko. Bagi lender yang penghindar risiko, keputusan mendanai menjadi ‘hard decision’. Bagaimana bisa memutuskan jika informasi tentang borrower begitu minimal.

Dibutuhkan kemampuan berimajinasi yang tinggi untuk menjadi pemberi dana. Bagaimana tidak? Silahkan cermati informasi tentang profil peminjam. Tipikalnya, informasi peminjam kurang lebih seperti ini: “Perusahaan dengan akronim 3 huruf, PT ABC yang bergerak disektor industri tertentu, butuh pendanaan untuk menjaga cash-flow perusahaan selagi menunggu pembayaran invoice financing dari perusahaan pengguna jasa PT ABC”.

Ditambah dengan informasi minimal lainnya seperti current, fixed asset, short & medium debt dan equity. Segelintir peminjam dilengkapi dengan laporan rugi/laba singkat beberapa tahun terakhir dan juga histori pembayaran pinjaman.

Masih ada problem inkonsistensi dari penyedia P2PL dalam memberikan informasi yang cukup untuk lender. Dengan berjalannya waktu, ada kecenderungan informasi tentang borrower diminimalkan. Sepertinya ada target mendapatkan jumlah borrower sebanyak-banyaknya. Semakin banyak jumlah peminjam, semakin banyak pula lender berpartisipasi. Penciptaan keramaian secara cepat memang menjadi ukuran sukses bisnis di era serba digital.  

Persoalannya, bagaimana bisa merangkul majority lender yang penghindar risiko dengan informasi borrower yang begitu minim? Di sinilah masa depan keberlanjutan fintech lending ditentukan.

Jika tidak bisa memberikan ‘kepastian’  tingkat pengembalian minimum yang masih menarik, akan sulit mempertahankan majority lender. Penolongnya bisa saja dari minority lender yang ‘risk taker’. Selama ditawari tingkat pengembalian yang tinggi, pendana tipe ini akan tetap mendanai.

Namun, di sinilah justeru terciptanya ‘spiral kehancuran’ dari bisnis fintech lending ini.  Semakin tinggi tingkat pengembalian yang ditawarkan ke lender semakin banyak pula borrower yang gagal bayar. Tutupnya ratusan fintech lending di Tiongkok menjelaskan hal tsb; pelaku fintech lending gagal mengembalikan dana ke lender.

Mereka yang Bertahan

Kekawatiran terjadinya gagal bayar mulai mengintai di sini. Per Februari 2019, jumlah kredit macet plus kredit kurang lancar mencapai 6,35% (Katadata.co.id, 29 Maret 2019), di atas batas maksimum NPL perbankan yang 5%. Ukuran yang biasa digunakan di dunia perbankan ini  menjelaskan nilai pinjaman  yang mengalami gagal bayar dibandingkan dengan nilai total portofolio pinjaman.

Namun jika bicara fintech lending yang melibatkan kerumunan lender, ukuran kinerja harus juga dinyatakan dengan jumlah dan/atau proporsi  lender (dalam persentase) yang pendanaannya mengalami keterlambatan dan gagal bayar. Jika ukuran ini yang digunakan, maka angkanya akan lebih mengkawatirkan.  

Mengapa demikian? Ambil saja proyek pendanaan yang tipikalnya senilai ratusan juga, katakanlah Rp 500 juta dengan level risiko yang tinggi namun dengan imbalan pengembalian yang tinggi di atas 18% flat per tahun. Dengan rata-rata setoran dana Rp 1 juta per lender, maka akan ada 500 lender berpartisipasi di proyek tsb. Jika proyek ini gagal bayar, maka 500 lender tsb bisa dilihat sebagai ‘number of defects’. Dalam pengendalian mutu kelas dunia, ukuran tersebut harus mendekati angka ‘nol’.

Di sinilah para fintech lending sudah harus merefleksikan apa yang sudah dijalani. Apakah memang harus ada trade-off antara kecepatan dan kemudahan pemberian dana yang didambakan borrower dengan performa pembayaran kredit tepat waktu yang diharapkan lender? Kalau ya, berarti bisnis fintech ini belum lah bisa dikatakan bisnis digital, yang mampu menawarkan kebaruan penciptaan nilai dibandingkan praktik lama. Yang terjadi barulah sebatas digitisasi bisnis; baru sebatas mempercepat proses aplikasi dan pendanaan.

Pelaku fintech lending harus menyadari bahwa digitalisasi bisnis adalah tentang inovasi model bisnis yang menawarkan penciptaan nilai-nilai baru. Sekedar lebih cepat dibandingkan pelaku konvensional tidaklah cukup. Butuh ‘wisdom’ untuk tetap berhati-hati dalam  dalam menyaring borrower.

Juga butuh ‘wisdom’ untuk mampu merangkul lender-lender baru yang mengejar kemaknaan baru dan tidak terlalu ‘rakus’ mengejar pengembalian tinggi. Digitalisasi bisnis harus diikuti dengan kecerdasan dan kearifan. Sebaran data yang tersedia begitu melimpah harus ditransformasikan  menjadi keputusan cerdas dan arif untuk mendapatkan borrower dan lender berkualitas. Jika ada yang berhasil melakukannya, sambutlah. Merekalah fintech sejati, the Smart and Wise! (www.katadata.co.id)

 

BERITA TERKAIT

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…

BERITA LAINNYA DI Opini

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…