Mencari Figur Menteri

Menjelang pelantikan Presiden Jokowi periode kedua (2019-2024), sejumlah elite partai mulai gencar melakukan lobi-lobi politik, yang tentu bertujuan untuk memperoleh bagian dari kursi kabinet mendatang dalam pemerintahan Jokowi. Wajar jika sekarang sudah beredar pula draf nama-nama yang diperkirakan bakal jadi menteri. Namun semuanya belum pasti, walau segala manuver itu selalu terjadi pada setiap transisi menjelang rezim berikutnya.

Manuver kalangan elite partai saat ini sejatinya sudah pada taraf mengkhawatirkan, kalau tidak boleh disebut memalukan. Mereka terlihat tidak malu-malu lagi berbicara terang-terangan kepada media, soal alokasi dan jabatan yang diharapkan. Perilaku elite partai seperti ini bak teater terbuka yang bisa ditonton rakyat banyak. Ini tentu membuat kita miris. Lalu pertanyaannya,  dimana sifat kenegarawanan mereka?

Gerakan manuver menuju posisi menteri sesuai setidaknya sesuai ungkapan klasik no free for lunch. Tidak ada yang gratis dalam politik kekuasaan, karena semua ada timbal baliknya. Persoalannya adalah etika menuju jabatan menteri juga perlu diperhatikan. Posisi terhormat juga harus dicapai dengan cara terhormat, bukan dengan cara terus menekan Presiden Jokowi, atau dengan cara menjatuhkan nama kandidat yang lain.

Kita menyadari bahwa salah satu problem bangsa kita adalah, mencari sosok figur teladan sebagai panutan, khususnya terkait posisi menteri. Dari sejarah, kita bisa belajar pada figur M Natsir (1908-1993), tokoh Masyumi dan perdana menteri (PM) di awal tahun 1950-an. Pada suatu ketika Natsir merasa ditinggalkan oleh sejumlah partai yang sebelumnya berkoalisi, dalam kabinet yang mengambil namanya (Kabinet Natsir), sehingga Natsir mengembalikan mandat kepada Presiden Soekarno. Saat Presiden Soekarno menawari Natsir untuk kembali menyusun kabinet, dia menolak secara halus, karena merasa tidak mampu melawan tekanan atau rongrongan partai-partai lain dalam koalisinya.

Tentu ini menjadi pelajaran penting dari Natsir, bahwa jabatan bukanlah segalanya. Apalah arti jabatan apabila kita kurang dipercaya pihak lain. Selanjutnya, Natsir segera mengembalikan mobil dinas selaku perdana menteri, dan rela bersepeda kembali layaknya rakyat biasa.

Bisa jadi figur seperti Natsir sudah langka di era sekarang, dan bisa jadi terlalu ekstrem pula apabila mengambil Natsir sebagai rujukan dalam konteks sekarang. Namun, apabila elite politik mampu menjalankan “separuh” saja dari perilaku yang diperlihatkan Natsir, sudah luar biasa.

Salah satunya adalah soal fasilitas. Telah menjadi rahasia umum bahwa menjadi pejabat publik, terutama menteri, adalah untuk memperoleh kesejahteraan dan berbagai kemudahan dan fasilitas lain. Itu sebabnya para elite partai seolah berlomba-lomba meminta sebanyak mungkin alokasi menteri bagi parpol atau organisasinya, dan acapkali abai terhadap tugas hakiki selaku menteri, yakni mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Patut disadari, program Nawacita yang dicanangkan pada periode pertama kepemimpinan Jokowi, rasanya perlu dipertajam dan dilakukan perbaikan mutu capaian yang lebih membumi dalam periode kedua pemerintahan Jokowi. Karena niat tulus Jokowi dengan Visi Indonesia yang begitu indah, jangan sampai bernasib menyedihkan di akhir periode nanti. Hanya karena para pembantunya terlalu intens berkampanye tentang sukses kerjanya lewat dunia pemberitaan media-sosmed dan pencitraan yang dikemas canggih, namun jauh dari realita sesungguhnya.

Hal yang juga sangat mendasar dan penting diperhatikan saat ini, adalah kegagalan revolusi mental yang begitu kentara. Fakta masih ramainya OTT dan pungli di sana-sini berikut mental ingin cepat sukses dengan cara menghalalkan segala cara merupakan budaya kehidupan bangsa ini yang bisa dijadikan bahan penilaian.

Tanpa berniat memojokan siapa pun dalam jabatan apa pun, pemilihan figur menteri yang berkualitas dan mumpuni menjadi tantangan serius Presiden Jokowi. Karena bila presiden salah pilih menteri, maka reputasi Jokowi akan luntur di mata rakyat pendukungnya.  

 

BERITA TERKAIT

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…