LESUNYA PERTUMBUHAN SEKTOR RITEL - Ekonom: Kebijakan Pemerintah & BI Belum Optimal

Jakarta-Ekonom Purbaya Y. Sadhewa menilai lesunya pertumbuhan sektor ritel tak lepas dari kebijakan pemerintah dan Bank Indonesia (BI) yang belum optimal. Pasalnya, kebijakan yang tidak optimal akan menyebabkan lemahnya perekonomian dan daya beli masyarakat yang pada ujung-ujungnya menekan sektor ritel.

NERACA

Sebelumnya, Asosiasi Pemasok Pasar Indonesia (AP3MI) mengungkapkan pelemahan konsumsi masyarakat menengah ke bawah yang tercermin dari penjualan toko tradisional telah menekan kinerja sektor ritel. Berdasarkan data AP3MI, penjualan toko tradisional cenderung tumbuh negatif 4% pada semester I-2019. Sementara, data penjualan ritel modern yang mewakili kelas menengah atas justru tumbuh 9% pada semester I-2019.

"Kita mesti waspada (terhadap) apa yang terjadi sekarang. Kemungkinan besar memang ada kebijakan yang dijalankannya belum optimal sehingga ekonomi kita tidak bisa lari," ujar Purbaya, pekan ini.

Menurut dia, daya beli masyarakat merupakan konsekuensi dari ramuan kebijakan fiskal dan moneter. Penyebab ekonomi yang kurang darah, kata Purbaya, bisa dilihat dari seberapa longgar pengelolaan kebijakan fiskal dan moneter saat ini. "Mungkin masih bisa ditingkatkan lagi (kebijakannya)," ujarnya.

Dari sisi fiskal, Purbaya menyorot banyaknya anggaran pemerintah yang ditaruh di BI. Padahal, uang tersebut bisa dikucurkan untuk menambah daya beli masyarakat.

Menurut dia, setiap tahunnya pemerintah masih memiliki sisa lebih pembiayaan anggaran (SiLPA) yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk mengerek konsumsi masyarakat. Tahun lalu, SiLPA tercatat Rp36,2 triliun. "Mungkin pengelolaan fiskal belum optimal dalam pengertian masih ada sisa uang lebih setiap tahun dari pemerintah, dan uangnya itu sebagian ditaruh di BI sehingga turut memperketat kebijakan moneter," ujarnya seperti dikutip cnnindonesia.com.

Dari sisi moneter, selain penurunan suku bunga, seberapa longgar kebijakan bank sentral bisa dilihat dari pertumbuhan jumlah uang yang beredar. Sebagai catatan, pelonggaran kebijakan Bank Indonesia akan menyebabkan semakin banyak jumlah uang yang beredar.

Namun, menurut Purbaya, pertumbuhan jumlah uang beredar yang saat ini hanya satu digit masih di bawah harapan. Untuk itu, pelonggaran kebijakan BI masih dibutuhkan. Berdasarkan data BI, uang beredar dalam arti sempit (M1) hanya tumbuh 7,4%. Sementara, dalam arti luas (M2) , pertumbuhan uang beredar cuma 7,8%.

Sesuai defisinisi BI, M1 meliputi uang kartal yang dipegang masyarakat dan uang giral (giro berdenominasi rupiah). Sementara, M2 meliputi M1, uang kuasi (mencakup tabungan, simpanan berjangka dalam rupiah dan valas, serta giro dalam valuta asing), dan surat berharga yang diterbitkan oleh sistem moneter yang dimiliki sektor swasta domestik dengan sisa jangka waktu sampai dengan satu tahun. "Artinya ya wajar-wajar saja terjadi perlambatan ekonomi seperti sekarang. Malah masih untung kita bisa tumbuh di atas 5%. Kalau kita tidak hati-hati atau tidak mengubah kebijakan ya kita akan segini atau bisa lebih lambat lagi," ujarnya.
Purbaya menambahkan peralihan pola konsumsi konsumen dari belanja konvensional ke daring tidak akan berpengaruh terhadap sektor ritel dan pertumbuhan ekonomi. Pasalnya, yang berubah hanya cara untuk berbelanjanya tetapi dampaknya terhadap ekonomi tetap sama.

"Amerika Serikat juga tadinya biasa lalu pindah ke online, tidak ganggu pertumbuhan ekonomi, karena hanya pindah saja. Produsen tetap saja untung. Artinya, Pendapatan Domestik Bruto tidak terganggu," tutur dia.

Di sisi lain, kalangan pelaku ritel konvensional (offline) menyatakan tantangan industri saat ini cukup berat. Salah satunya dikarenakan perkembangan bisnis ritel online (e-commerce).

Menurut CEO PT Lotte Mart Indonesia Joseph Buntaran, e-commerce memiliki karakter berbeda dengan ritel konvensional, di mana karakteristik itu mendorong e-commerce lebih cepat dalam mengembangkan bisnisnya dibandingkan ritel konvensional. "Yang pasti kondisi saat ini sangat destruktif dan kami harus berpikir lebih ke depannya agar kami bisa survive (bertahan)," ujarnya, Senin (29/7).

Dari sisi kinerja keuangan, meski merugi, e-commerce masih tetap bisa mengembangkan bisnis. Bahkan, mendapatkan suntikan modal. Ini berbeda dengan ritel konvensional yang dituntut menjaga kinerja keuangan. "Pemain offline bikin laporan tiap bulan turun saja, bisa dipanggil ke kantor pusat, turun kenapa? Lalu, membuat penjelasan," ujarnya.  

Tantangan Kualitas SDM

Selain itu, e-commerce bisa memberikan diskon besar-besaran lantaran tidak terkait perjanjian dengan pihak pemasok. Sementara, ritel konvensional harus memiliki hitung-hitungan cermat dalam memberikan diskon.

Masalah pasokan ini juga menimbulkan permasalahan tersendiri bagi ritel konvensional. Ketika pasokan belum habis, mereka harus menambah suplainya lantaran belum bisa melunasi pembayaran sebelumnya. Akibatnya, pasokan menumpuk. "Jadi, untuk menutupi utang itu kami order (pesan) lagi, order lagi tapi untuk menjual itu kami tidak tahu kapan," ujarnya.

Tidak hanya itu. Ritel konvensional juga menghadapi tantangan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang boleh dibilang rendah. Oleh karenanya, perusahaan harus mengeluarkan biaya untuk program pelatihan.

Dia mengungkapkan biaya pengembangan SDM Lotte Mart meningkat hingga 8 kali lipat sejak 2017-2018. Ini ditempuh perusahaan untuk mendorong pengembangan bisnis itu sendiri. "Hampir 45-50% operasional ritel offline berada di personal cost (biaya personal)," tuturnya.

Meski tidak gamblang merincikan nominal, menurut Joseph, penjualan Lotte Mart Indonesia tumbuh 4,41% dan laba tumbuh 5% pada kuartal I-2019.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey mengatakan kenaikan bisnis e-commerce lebih rendah dibandingkan ritel offline. Tahun lalu, ritel konvensional berhasil tumbuh di rentang 7-8%. Tahun ini, targetnya meningkat jadi 10%.  

Namun, dia tidak menampik terjadi anomali. Menurut Roy, konsumen cenderung memilih ritel offline dengan luasan toko lebih sempit, yakni 1.500-2.000 meter persegi. Akibatnya, banyak ritel offline dengan luasan 5.000-6.000 meter persegi yang menyesuaikan fenomena itu dengan efisiensi hingga relokasi gerai. "Jadi ritel tidak akan hilang, tapi berevolusi terhadap perubahan yang terjadi baik perubahan teknologi maupun behaviour konsumen," ujarnya.  

Untuk menjawab tantangan pesaingnya, menurut dia, beberapa toko offline telah menyediakan layanan online. Dia menyebut 95% dari anggota Aprindo telah menyediakan layanan offline dan online. Karena kehadiran lini bisnis online mendongkrak pendapatan ritel konvensional, meski jumlahnya belum signifikan. "Jadi ketika kami hadirkan online dalam bisnis kami, itu menjawab harapan dari masyarakat itu sendiri," ujarnya. bari/mohar/fba

BERITA TERKAIT

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…