Ancaman Radikalisme di Jantung Pemberantasan Korupsi

Oleh: Andre Notohamijoyo. Pemerhati Birokrasi, Doktor Ilmu Lingkungan UI

Pasca putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak seluruh permohonan dari pasangan calon Presiden-Wakil Presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno pada Kamis (27/6), diharapkan hiruk pikuk perpolitikan pascapilpres reda. Masyarakat pun hendaknya kembali beraktivitas seperti biasa. Politik identitas yang sempat menguat di masyarakat saat seluruh fase pilpres berjalan diharapkan tidak lagi muncul. 

Meskipun demikian, sulit untuk menjamin berhentinya politik identitas dan politik eksklusif pasca Pilpres 2019. Perkembangan intoleransi dan radikalisme telah terlanjur menguat dan berpotensi memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa ini.

Sisi positif dari perkembangan intoleransi dan radikalisasi tersebut adalah meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap bahaya radikalisme saat ini. Kekhawatiran terhadap politik identitas yang merongrong ideologi Pancasila dan keberagaman bangsa ini mulai disadari akan merusak masa depan negara ini. Berbagai lembaga dan kelompok masyarakat turut aktif dalam mendorong peningkatan kesadaran tersebut. 

Antusiasme tersebut tercermin pada saat Setara Institute (SI) menyampaikan hasil surveinya bertajuk 'Wacana dan Gerakan Keagamaan di Kalangan Mahasiswa: Memetakan Ancaman Atas Negara Pancasila di PTN', Jumat (31/5) di Hotel Ibis Tamarin. 

Di dalam acara tersebut disampaikan paparan hasil survei perihal perkembangan wacana dan gerakan keagamaan eksklusif di berbagai kampus negeri yang tidak hanya digerakkan oleh satu kelompok keislaman tertentu, tapi oleh beberapa kelompok, yaitu gerakan Salafi-Wahabi, Tarbiyah dan Tahririyah. 

Berbagai kegiatan lanjutan setelah acara dari SI tersebut terus dilakukan oleh berbagai organisasi kemasyarakatan. Acara dialog publik yang diselenggarakan Pengurus Daerah Jakarta Raya Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) di Cikini pada Senin (8/7) berjudul 'Menjaga Ibukota Dari Ancaman Fundamentalisme Agama dan Pasar' yang dihadiri begitu banyak masyarakat, mencerminkan antusiasme terhadap isu radikalisme dan penanggulangannya.  

Di artikel sebelumnya (Media Indonesia, 15/6), penulis menyampaikan bahwa bahaya radikalisasi dan liberalisasi di ASN memerlukan penanganan lebih serius. Ancaman radikalisasi dengan berbagai tingkatan telah memasuki berbagai kementerian/lembaga.

Keterlibatan Tokoh
Ancaman tersebut saat ini bahkan mulai terjadi di lembaga yang seringkali dipandang sebagai harapan terakhir masyarakat dalam penindakan korupsi di Indonesia yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Informasi yang berkembang di masyarakat adalah adanya perkembangan intoleransi di KPK. Perkembangan tersebut ditengarai menjadi penyebab tindakan tebang pilih dalam penanganan kasus korupsi oleh instansi tersebut.

Keterlibatan mantan penasehat KPK dalam aksi unjuk rasa yang melibatkan kelompok yang eksklusif dalam menyikapi hasil Pemilu 2019 tempo hari perlu diwaspadai. Demikian pula perlu dicermati apabila ada keterlibatan komisioner dan pegawai KPK dengan kelompok eksklusif tertentu. Di sisi internal, perlu dilihat lagi pola rekrutmen, pendidikan hingga pembinaan pegawai di KPK.  

Perlu dilihat kembali sejarah terbentuknya KPK melalui UU No.30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU tersebut merupakan penguatan dari Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) yang telah ada sebelumnya berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. 

Pascaterbitnya UU No.30/2002 tersebut, KPKPN menjadi bagian dari KPK menjadi bagian Bidang Pencegahan pada Komisi Pemberantasan Korupsi. Para pegawai yang bekerja di KPK berasal dari berbagai instansi pemerintah seperti Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Badan Pemeriksa Keuanga (BPK), Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Kepolisian RI dan lain-lain. 

Keterlibatan berbagai instansi pemerintah tersebut di internal KPK perlu ditinjau kembali secara menyeluruh mengingat perkembangan intoleransi di berbagai Kementerian/Lembaga sudah pada tahap yang mengkhawatirkan khususnya yang berasal dari Kementerian Keuangan. 

Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani pada pelantikan pejabat eselon 2 dan 3 di lingkungan Kementerian Keuangan pada Jumat (14/6), merupakan sebuah peringatan kepada para ASN di lingkungan Kementerian Keuangan agar menjauhi kelompok radikal dan kembali setia kepada Pancasila sebagai dasar negara. 

Sebagai kementerian yang memiliki wewenang sentral sebagai bendahara negara, Kemenkeu perlu diwaspadai menjadi tempat berkembangnya kelompok radikal. Demikian pula berbagai Kementerian/Lembaga yang memiliki pegawai yang berasal dari Kemenkeu seperti BPK, BPKP, Kementerian BUMN dan lainnya. 

Inilah buah dari kebijakan politik di era Orde Baru yang menggandeng kelompok radikal dan eks Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) serta melakukan penyusupan pada jejaring birokrasi. Kondisi tersebut diperparah akibat pembiaran di era reformasi. Bahkan banyak kader dari kelompok intoleran yang menduduki jabatan strategis seperti menteri, pejabat negara, komisaris atau direksi di BUMN.

Langkah pemerintah untuk melibatkan berbagai lembaga seperti Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam proses pemilihan komisioner KPK sudah sangat tepat. Pelibatan ketiga lembaga tersebut diperlukan untuk mengantisipasi kemungkinan masuknya individu-individu yang terkait dengan gerakan intoleran dan radikalisme.

Pelibatan kedua lembaga tersebut diharapkan tidak hanya pada pemilihan komisioner KPK namun juga perlu dilanjutkan pada proses rekrutmen pegawai dan pejabat di berbagai kementerian/lembaga negara termasuk BUMN. Proses rekrutmen harus melibatkan tidak hanya BIN, BNPT dan BNN, namun juga lembaga terkait lainnya seperti Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) dan Badan Pengamalan Ideologi Pancasila (BPIP). 

Koordinasi antara lembaga-lembaga tersebut menjadi kunci keberhasilan menangkal radikalisme dan menanamkan nilai-nilai Pancasila di tubuh ASN. Penanaman nilai-nilai Pancasila harus dilakukan sejak awal pembinaan karir di Kementerian/Lembaga termasuk KPK sebagai wujud implementasi ideologi negara ini yang merangkul seluruh warga negara dalam keberagaman.  (www.mediaindonesia.com)

 

BERITA TERKAIT

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…

BERITA LAINNYA DI Opini

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…