Ekonomi 2019: Penurunan Neraca Perdagangan dan APBN Masih Berlanjut

Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)

Ekonomi Indonesia hingga semester pertama 2019 masih dalam tekanan. Pertama, ekspor dan impor hingga Semester I 2019 masih turun, dan defisit neraca perdagangan juga membesar. Ekspor pada Semester I 2018 mencapai 87,86 miliar dolar AS. Dan turun menjadi 80,32 miliar dolar AS pada Semester I 2019. Atau turun 8,57 persen. Impor Semester I 2019 juga turun. Dari 89,05 miliar dolar AS pada Semester I 2018 menjadi 82,26 miliar dolar AS pada Semester I 2019. Atau turun 7,63 persen. Tetapi lebih rendah dari penurunan ekspor yang sebesar 8,57 persen.

Dampaknya, defisit neraca perdagangan pada semester I 2019 ini melebar menjadi 1,93 miliar dolar AS. Meningkat 61,7 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2018, yang mencatat defisit sebesar 1,2 miliar dolar AS. Padahal defisit neraca perdagangan tahun 2018 sudah merupakan rekor terburuk sepanjang sejarah Indonesia. Akankah defisit tahun 2019 ini melebihi defisit tahun 2018?

Neraca perdagangan Indonesia terbagi dua kelompok, neraca perdagangan migas (minyak dan gas) dan neraca perdagangan non-migas. Neraca perdagangan migas selalu mengalami defisit mengingat Indonesia sebagai negara net importir migas. Oleh karena itu, neraca perdagangan migas selalu mengalami defisit. Besarnya defisit tergantung dari perkembangan harga minyak mentah dunia. Kita patut  bersyukur, bahwa harga minyak mentah dunia selama periode 6 bulan pertama 2019 turun cukup signifikan dibandingkan periode yang sama 2018. Secara rata-rata turun sekitar 7 persen. Oleh karena itu, defisit neraca perdagangan migas juga mengecil, dari defisit 5,62 miliar dolar AS pada Semester I 2018 turun menjadi defisit 4,78 miliar dolar AS pada Semester I 2019. 

Tetapi, penurunan defisit neraca perdagangan migas ini menjadi tidak berarti, karena performa neraca perdagangan non-migas terpuruk. Surplus neraca perdagangan non-migas turun tajam, dari surplus 4,42 miliar dolar AS pada semester I 2018 menjadi hanya surplus 2,85 miliar dolar AS pada semester I 2019. Kondisi ini sangat memprihatinkan. Karena perdagangan non-migas menjadi sumber utama Indonesia untuk memperoleh devisa dari luar negeri. Kalau neraca perdagangan non-migas terpuruk, dapat dipastikan defisit neraca perdagangan akan membesar, defisit transaksi berjalan akan meningkat, dan tekanan terhadap kurs rupiah akan semakin besar.

Semoga surplus neraca perdagangan non-migas ini dapat meningkat lagi di semester II 2019. Dan semoga harga minyak mentah dunia tidak meningkat sehingga defisit neraca perdagangan migas dapat terkendali.

Selanjutnya, performa APBN (Anggaran Pendapatan dan Penerimaan Negara) sangat menyedihkan. Penerimaan pajak selama 6 bulan pertama 2019 baru mencapai 38,57 persen dari target 2019. Yang mengejutkan, penerimaan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dan PPnBM (Pajak Penjualan Barang Mewah) baru mencapai 30,4 persen dari target. Dibandingkan dengan tahun lalu, penerimaan PPN dan PPnBM ini bahkan turun 2,66 persen. Hal ini menunjukkan aktivitas ekonomi tidak sesuai target. Konsumsi melemah.

Akibatnya, rasio penerimaan pajak terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) akan anjlok lagi. Kemungkinan besar akan di bawah 9 persen. Sangat rendah. Dan sangat mengkhawatirkan. Di lain pihak, bunga pinjaman yang harus dibayar pemerintah semakin besar, dan membebani APBN. Rasio beban bunga pinjaman terhadap penerimaan pajak pada semester I 2019 sudah mencapai 19,56 persen. Artinya, setiap rupiah pajak yang dipungut pemerintah, sebesar 19,56 persen-nya harus diberikan kepada pemilik modal pemberi pinjaman. Dan, sekitar 60 persen dari jumlah tersebut dimiliki asing.

Dengan semakin terbatasnya keuangan negara, pengentasan kemiskinan juga akan semakin sulit. Tidak heran, penurunan jumlah penduduk miskin Indonesia beberapa tahun belakangan ini sangat tidak berarti. Jumlah penduduk miskin per Maret 2019 sebesar 9,41 persen dari jumlah penduduk, hanya turun 0,25 persen dibandingkan September 2018, dan hanya turun 0,41 persen dibandingkan Maret 2018.

Kondisi APBN seperti di atas akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia karena kemampuan pemerintah dalam memberi stimulus ekonomi semakin terbatas. Bahkan pemerintah harus mengurangi anggara belanjanya. Dan defisit APBN dan utang negara juga akan semakin membesar. 

Kondisi APBN seperti di atas bisa membuat pemerintah mengambil kebjiakan “kalap”. Yaitu menaikkan berbagai pungutan (bea, cukai maupun pajak) untuk mengisi kas negara yang sedang kosong. Pungutan easy money ini pada gilirannya akan menekan daya beli masyarakat, dan ekonomi. (www.watyutink.com)

BERITA TERKAIT

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…

BERITA LAINNYA DI Opini

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…