Sektor Pangan - Produksi dan Suplai Terbatas Bakal Memicu Kenaikan Harga Cabai

NERACA

Jakarta – Pengamat Ekonomi Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) Rusli Abdullah mengatakan salah satu alasan kenaikan harga cabai di berbagai daerah adalah kurangnya pasokan dan suplai yang terbatas akibat musim kering.

"Itu karena suplainya terbatas, karena produksi yang belum optimal," kata Rusli dalam pernyataan yang diterima di Jakarta, disalin dari Antara. Rusli mengatakan produksi cabai yang terhambat oleh musim kering menyebabkan pasokan terganggu. Apalagi saat ini belum ada penciptaan varietas unggulan yang tahan terhadap perubahan iklim serta inovasi pada cara tanam.

Dalam kondisi ini, ia mengharapkan adanya upaya untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap cabai segar dan mulai menggunakan cabai bubuk atau sambal olahan agar produksi yang melimpah pada musim panen dapat terserap menjadi produk tahan lama. "Jadi pemerintah harus mendorong masyarakat agar mereka lebih bisa adaptif terhadap cabai olahan," kata Rusli.

Dalam kesempatan terpisah, pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia Kudhori mengatakan kondisi gagal panen atau rusaknya tanaman saat kemarau tidak hanya dialami cabai, namun juga tanaman hortikultura lainnya. "Ini seperti tanaman hortikultura yang lain, kalau ada gangguan di level budidaya dalam bentuk perubahan iklim pasti dampaknya di panen. Ketika terjadi anomali atau penyimpangan iklim cuaca itu juga bukan hanya soal air, karena berbarengan dengan hama dan penyakit," ujarnya.

Namun, menurut dia, para petani seharusnya bisa mengantisipasi datangnya musim kemarau, karena BMKG secara rutin telah mengumumkan perkiraan iklim per tiga bulan sekali agar tidak terjadi kendala di daerah yang selama ini menjadi basis produksi cabai.

Peneliti Center for Indonesia Policy Studies (CIPS) Galuh Octania menambahkan penyebab lain minimnya produksi cabai adalah ketakutan para petani untuk menanam di musim kemarau yang berkepanjangan, karena potensi gagal panen.

Menurut dia, pihak-pihak terkait harus bisa belajar dari kesalahan masa lalu karena siklus ini terjadi tiap tahun. Apalagi pola kemarau seperti saat ini dapat membuat produksi sejumlah komoditas pangan utama menjadi berkurang.

"Kementerian Pertanian harus meyakinkan petani untuk dapat menanam di luar musim kemarau. Jadi manfaatkan semaksimal mungkin menanam di luar musim kemarau, sebelum datangnya musim kemarau," katanya.

Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian Suwandi menyatakan stok cabai merah masih memadai untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dengan pasokan khusus bagi Jakarta per harinya mencapai 80 ton, yang diperoleh dari beberapa daerah di Jawa.

Namun, ia mengakui produksi di tingkat petani belum optimal, karena beberapa sentra petani di Jawa baru memasuki panen ke tiga, padahal tanaman cabai dapat dipanen antara 16-28 kali dengan masa tanam hingga lima bulan. "Sudah ada panen pertama, kedua, dan ketiga, tapi belum tumbuh. Nanti awal Agustus sudah melimpah," kata Suwandi.

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kenaikan harga cabai terutama cabai merah di berbagai daerah menjadi salah satu pemicu terjadinya laju inflasi pada Juni 2019 sebesar 0,55 persen.

Dirjen Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Hari Suprayogi mengatakan lahan pertanian yang mengalami dampak kekurangan air pada musim kemarau umumnya sawah tadah hujan dan sawah yang mengandalkan irigasi yang bergantung pada debit air sungai. "Sementara, untuk irigasi teknis yang mendapat jaminan air bendungan atau irigasi premium masih mendapat pasokan air yang cukup," kata Hari dalam jumpa pers di Jakarta, disalin dari Antara.

Ia menjelaskan dari 16 waduk utama dengan kapasitas minimal 50 juta meter kubik, 10 waduk dalam kondisi di bawah rencana dan enam waduk lainnya dalam kondisi normal. Waduk dengan kondisi di bawah rencana akan mengalami penyesuaian pola tanam yang pengaturannya ditentukan oleh Perkumpulan Petani Pengguna Air atau P3A.

Menurut data Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), puncak musim kering diperkirakan berlangsung pada Agustus 2019 dengan cakupan 52,9 persen wilayah Indonesia terpapar musim kekeringan.

Kementerian PUPR terus melakukan pemantauan terhadap kondisi 16 waduk utama tersebut, yaitu Jatiluhur, Cirata, Saguling, Kedungombo, Batutegi, Wonogiri, Wadaslintang, Sutami, Bili-bili, Wonorejo, Cacaban, Kalola, Solorejo, Way Rarem, Batu Bulan, dan Ponre-ponre. Terpantau per 30 Juni 2019, volume ketersediaan air dari 16 waduk utama tersebut sebesar 3.858,25 juta meter kubik dari tampungan efektif sebesar 5.931,62 juta meter kubik.

BERITA TERKAIT

Konflik Iran dan Israel Harus Diwaspadai Bagi Pelaku Industri

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus memantau situasi geopolitik dunia yang tengah bergejolak. Saat ini situasi Timur Tengah semakin…

Soal Bisnis dengan Israel - Lembaga Konsumen Muslim Desak Danone Jujur

Yayasan Konsumen Muslim Indonesia, lembaga perlindungan konsumen Muslim berbasis Jakarta, kembali menyuarakan desakan boikot dan divestasi saham Danone, raksasa bisnis…

Tiga Asosiasi Hilir Sawit dan Forwatan Berbagi Kebaikan

NERACA Jakarta – Kegiatan promosi sawit dan bakti sosial diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bersama tiga asosiasi hilir sawit yaitu…

BERITA LAINNYA DI Industri

Konflik Iran dan Israel Harus Diwaspadai Bagi Pelaku Industri

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus memantau situasi geopolitik dunia yang tengah bergejolak. Saat ini situasi Timur Tengah semakin…

Soal Bisnis dengan Israel - Lembaga Konsumen Muslim Desak Danone Jujur

Yayasan Konsumen Muslim Indonesia, lembaga perlindungan konsumen Muslim berbasis Jakarta, kembali menyuarakan desakan boikot dan divestasi saham Danone, raksasa bisnis…

Tiga Asosiasi Hilir Sawit dan Forwatan Berbagi Kebaikan

NERACA Jakarta – Kegiatan promosi sawit dan bakti sosial diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bersama tiga asosiasi hilir sawit yaitu…