Ini Dia, Misi Konservasi Air di Yogyakarta

Posisi Kota Yogyakarta yang diuntungkan secara topografi karena memiliki wilayah yang tidak luas, berada di dataran rendah, dan diapit tiga sungai besar menyebabkan Yogyakarta hampir tidak pernah mengalami kekeringan selama musim kemarau. “Sampai sekarang, belum ada laporan resmi atau keluhan dari warga yang mengalami kesulitan air bersih,” kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Yogyakarta Suyana di Yogyakarta, Minggu.

Menurut Suyana, Kota Yogyakarta hampir tidak pernah mengalami masalah kekeringan atau kesulitan air bersih selama musim kemarau meskipun terkadang di beberapa wilayah tertentu terjadi penurunan muka air sumur saat puncak musim kemarau.

“Saat ini baru awal musim kemarau. Mungkin puncaknya baru akan terjadi pada Agustus atau September. Jika terjadi penurunan, biasanya penurunan muka air sumur tidak signifikan sehingga tidak mengganggu kebutuhan warga untuk air bersih,” katanya.

Meskipun hampir tidak pernah merasakan kesulitan memperoleh air bersih selama musim kemarau panjang, namun warga Kota Yogyakarta tidak boleh menjadikan keuntungan topografi wilayah tersebut sebagai alasan untuk tidak melakukan upaya apapun karena merasa air bersih akan selalu tersedia dalam jumlah cukup dan dengan kualitas yang baik.

Suyana menyebut, upaya untuk menjaga ketersediaan dan kualitas air tanah dilakukan dengan berbagai cara yang bisa dikerjakan secara mudah oleh masyarakat, di antaranya pembuatan biopori, memanen air hujan hingga membuat sumur peresapan air hujan.

Biopori yang dibuat di Kota Yogyakarta pada awalnya dibuat dengan ukuran standar, namun dalam beberapa waktu terakhir mulai dibuat dengan ukuran lebih besar yang kemudian dikenal dengan nama biopori jumbo.

Salah satu kecamatan di Kota Yogyakarta yang memperkenalkan konsep biopori jumbo adalah Kecamatan Tegalrejo. Jika ukuran biopori pada umumnya berdiameter 10 centimeter, maka biopori jumbo memiliki diameter 30 centimeter.

Pengembangan biopori jumbo tersebut dilakukan sebagai bentuk komitmen Kecamatan Tegalrejo sebagai daerah konservasi air di Kota Yogyakarta. Harapannya, tidak ada lagi air hujan yang terbuang dan menyebabkan banjir di wilayah lain tetapi air tersebut meresap ke tanah.

Lubang biopori yang sudah tergali kemudian ditutup dengan ember yang terlebih dulu sudah diberi lubang agar sampah organik bisa masuk.

Selain biopori, pembuatan sumur peresapan air hujan (SPAH) juga terus digalakkan. Bahkan saluran air hujan yang ada di Kota Yogyakarta juga dilengkapi dengan sumur peresapan air hujan. Setiap jarak tertentu, sekitar 30 meter, dibuat sumur resapan agar kapasitas saluran meningkat dan air tidak hanya mengalir tetapi juga meresap ke dalam tanah.

“Upaya yang dilakukan saat ini adalah memperbanyak gerakan konservasi air. Saat musim hujan, dimanfaatkan untuk memanen air hujan sehingga saat musim kemarau masih ada cadangan air tanah yang bisa dimanfaatkan. Ibaratnya membangun lumbung air,” katanya.

Pembangunan SPAH tidak hanya dilakukan di lingkungan permukiman tetapi juga dilakukan di sekolah dan diharapkan seluruh sekolah di Kota Yogyakarta memiliki fasilitas tersebut. Pada tahun ini, DLH Kota Yogyakarta mengalokasikan anggaran pembangunan 50 unit SPAH di sekolah yang akan dimulai semester dua.

Pembangunan SPAH dilakukan sesuai permintaan institusi pendidikan yang sudah diajukan ke DLH. Jumlah SPAH yang dibangun di tiap sekolah berbeda-beda, disesuaikan dengan luas sekolah. Namun, biasanya dibangun dua hingga lima unit. SPAH dibangun dengan spesifikasi kedalaman sekitar 2,5 meter dengan diameter 80 centimeter.

Sampai saat ini, diperkirakan 70 persen sekolah di Kota Yogyakarta dilengkapi dengan SPAH. Sekolah memiliki kewajiban memelihara SPAH, di antaranya dengan melakukan pembersihan secara rutin karena biasanya banyak endapan pasir.

Selain melakukan gerakan konservasi air secara mandiri, masyarakat juga bisa memperoleh air bersih dari hotel yang ada di wilayahnya jika hotel atau usaha tersebut memanfaatkan air tanah dalam dari sumur dalam yang dimiliki. Sumur dalam biasanya memiliki kedalaman lebih dari 70 meter.

“Masyarakat di sekitar tempat usaha bisa memperoleh pembagian 15 persen dari air sumur dalam yang dikonsumsi hotel atau tempat usaha. Aturan ini masih banyak yang belum tahu. Ini seperti pelaksanaan corporate social responsibility (CSR),” katanya.

Ketersediaan air tanah yang cukup banyak di Kota Yogyakarta juga dimanfaatkan oleh sejumlah warga dengan membentuk kelompok pemakai air. Tidak jarang, kelompok tersebut juga memproduksi air siap minum. (ant)

 

 

 

BERITA TERKAIT

Jurus Jitu Selamatkan UMKM

Jurus Jitu Selamatkan UMKM  Pelaku UMKM sebenarnya tidak membutuhkan subsidi bunga. Yang sangat mendesak diperlukan adalah penguatan modal untuk memulai…

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020 Dalam konteks masih terjadinya penularan dengan grafik yang masih naik, sejumlah pihak meminta pemerintah…

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah Strategi intervensi berbasis lokal, strategi intervensi untuk pembatasan berskala lokal ini penting sekali untuk dilakukan, baik…

BERITA LAINNYA DI

Jurus Jitu Selamatkan UMKM

Jurus Jitu Selamatkan UMKM  Pelaku UMKM sebenarnya tidak membutuhkan subsidi bunga. Yang sangat mendesak diperlukan adalah penguatan modal untuk memulai…

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020 Dalam konteks masih terjadinya penularan dengan grafik yang masih naik, sejumlah pihak meminta pemerintah…

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah Strategi intervensi berbasis lokal, strategi intervensi untuk pembatasan berskala lokal ini penting sekali untuk dilakukan, baik…