Ekonomi Pasca Pemilu

Kita tentu merasa lega ketika pesta demokrasi yang diselenggarakan pemerintah Indonesia telah selesai dan meninggalkan euforia serta mendapat apresiasi dari sejumlah negara lain. Semua perdebatan politik sejatinya telah berhenti, menunggu dengan sabar, menerima dengan legawa, dan pemerintah seharusnya tetap berfokus bagaimana mengelola negeri ini lebih baik lagi. Apalagi masih banyak antrean janji maupun kebijakan yang masih berupa draf untuk segera diselesaikan oleh para petinggi negara. 

Lebih lanjut, negara Indonesia sendiri masih harus menghadapi masalah internal yaitu kebutuhan ruang fiskal, pertumbuhan ekonomi yang stagnan di angka 5%, ataupun bagaimana tetap menstimulasi penguatan rupiah di kancah global. Siapa pun pemegang kekuasaan saat ini, harus memedulikan gairah ekonomi di negeri ini, tingkat pengelolaan investasi yang harus lebih baik lagi, maupun bagaimana membuat instrumen keuangan di dalam APBN semakin berkualitas.

Tidak hanya itu. Ada hal yang masih ditunggu pula oleh masyarakat Indonesia yang saat ini sedang dalam masa-masa pertimbangan, yaitu apakah harus melakukan pemangkasan tarif PPh untuk Wajib Pajak Badan. Kementerian Keuangan pun diminta untuk dapat cepat merumuskan penurunan tarif ini yang akibatnya secara langsung akan mempengaruhi institusi eksekutornya, Direktorat Jenderal Pajak.

Dalam suatu tujuan yang dirumuskan, pastinya ada hal yang akan dikorbankan untuk meraihnya. Termasuk pula bagaimana merumuskan suatu kebijakan yang melingkupi seluruh kehidupan masyarakat, konsekuensi pun pastinya ada. Penurunan tarif PPh Badan yang terlihat sangat diharapkan oleh para pengusaha lainnya, terlihat diminta segera dapat direalisasikan. Sejauh mereka meyakini bahwa penurunan tarif ini dianggap dapat meningkatkan investasi masuk ke Indonesia.

Menurunkan tarif tanpa memperluas basis pajak sama halnya, menurunkan penerimaan negara dari perpajakan. Bisa dibilang, kontribusi 80% pajak sebagai penopang pendapatan dalam APBN dapat ikut terganggu. Hal ini kemungkinan bisa mengurangi ruang fiskal dalam mengelola APBN, yang dapat menciptakan defisit di luar harapan.

Kebutuhan akan pembiayaan pun akan menjadi semakin tinggi, apalagi jika prospek tahun 2019 ini, pembangunan infrastruktur masih masif tetap dijalankan. Peningkatan rasio pajak yang menjadi indikator pengelolaan kinerja perpajakan pun akan terasa kurang menjadi hal yang diutamakan lagi.

Sepertinya dari beberapa fasilitas yang digelontorkan pemerintah, neraca perdagangan sedang menjadi anak emasnya tahun ini. Permasalahan defisit neraca transaksi berjalan (current account defisit/CAD) telah menyerap perhatian pemerintah. Terlebih saat besaran defisit pada kuartal kedua 2018 sempat menyentuh ambang batas aman sebesar 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Melihat kerangka yang membentuk neraca transaksi berjalan, terdapat item neraca pembayaran yang mencatat semua transaksi Indonesia dengan luar negeri. Sebagai induk dari segala neraca, neraca pembayaran memuat neraca transaksi berjalan (current account) serta neraca transaksi modal dan keuangan (capital and financial account). Kegiatan ekspor impor barang dan jasa yang tercatat dalam neraca perdagangan pun menjadi komponen terbesar.

Kenyataannya sekarang, posisi impor yang besar dibanding nilai ekspor secara jelas menunjukkan nilai defisit (current account defisit). Walaupun sebagai NSB (Negara Sedang Berkembang), jumlah impor yang banyak sudah terlihat sewajarnya, namun itu semua terlihat coba ditekan turun. Apalagi dalam melakukan ekspor barang, Indonesia lebih banyak mengekspor barang komoditas, seperti minyak dan batu bara, dibandingkan manufaktur.

Kegiatan ekspor komoditas masih dianggap mudah terpengaruh dengan barang komoditas di luar negeri. Sehingga jika penetapan harga di luar negeri bagus maka nilai ekspor Indonesia dianggap bagus, namun juga sebaliknya.

Meskipun juga Indonesia masih disokong dengan dari surplus neraca transaksi modal (capital account) untuk menutup defisit yang terjadi pada neraca transaksi berjalan. Namun kenyataannya, melihat contoh pada semester pertama tahun 2018, defisit pada neraca transaksi berjalan sebesar US$13,8 miliar, belum bisa tertutupi. Mungkin inilah, yang membuat pemerintah harus segera membangun iklim perekonomian secara mandiri.

Bisa dilihat bahwa dalam hal ini ada upaya pemerintah untuk memilih antara pertumbuhan ekonomi atau pemerataan ekonomi. Karena pertumbuhan dan pemerataan sebenarnya merupakan dua kutub strategi pembangunan yang saling mengabaikan (trade-off).

Sisi pembangunan yang menitikberatkan pada aspek pertumbuhan dalam batas-batas tertentu akan mengabaikan aspek pemerataan, begitu juga sebaliknya. Perlu hati-hati pula, akan segala pilihan yang diambil oleh pemerintah. Jika pemerintah memilih aspek pertumbuhan maka semua dasar kebijakan pembangunan menekankan pada pemacuan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan harapan nantinya aspek pemerataan dapat pula diraih melalui mekanisme tetesan ke bawah (trickle down effect).

Dan sebaliknya, penggunaan tolak ukur ekonomi klasik tersebut sekiranya tidak mampu merefleksikan relitas kehidupan masyarakat sesungguhnya. Angka-angka yang tercermin pada GNP tidak cukup representative dalam mengungkapkan state of mind masyarakat yang sebenarnya. Konsekuensi besar adalah semakin lebarnya jurang polarisasi ekonomi seiring dengan pesatnya pertumbuhan (Ekonomi Pembangunan, Prof. Lincolin Arsyad, Ph.D,).

Kembali lagi, itu semua adalah pilihan yang harus diambil. Meminta pertumbuhan ekonomi menjadi tinggi dengan bercermin pada neraca perdagangan yang stabil membutuhkan beberapa hal lain yang dikorbankan. Kenyataan ruang fiskal pada APBN menjadi terbatas bisa saja terjadi, karena unsur penerimaan sebagai penopang negara menjadi pilihan untuk dilakukan perubahan besar dalam sisi kebijakannya.

BERITA TERKAIT

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…