HASIL AUDIT BPK SEMESTER II-2018 - Pemerintah Belum Tindaklanjuti 2.466 Rekomendasi

Jakarta-Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memantau 21.816 rekomendasi hasil pemeriksaan kepada pemerintah pusat pada periode 2015-2016 senilai Rp33,53 triliun. Namun, dari seluruh rekomendasi tersebut sebanyak 2.466 rekomendasi senilai Rp3,14 triliun belum ditindaklanjuti. BPK juga menyoroti rasio utang pemerintah supaya tetap aman.

NERACA

Menurut data Ihtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II-2018 terungkap pemerintahan Jokowi telah menindaklanjuti 11.185 rekomendasi sesuai arahan BPK. Sedangkan tindak lanjut 8.063 rekomendasi senilai Rp22,06 triliun belum sesuai arahan BPK dan 102 rekomendasi senilai Rp683,97 triliun.

"Terhadap rekomendasi tersebut, pemerintah pusat telah menindaklanjuti dengan penyetoran/penyerahan aset ke kas negara senilai Rp4,59 triliun," menurut laporan BPK dalam paparannya di DPR, pekan ini.

Selain pemerintah pusat, BPK juga memantau rekomendasi atas hasil pemeriksaan pemerintah daerah sebanyak 120.974 rekomendasi senilai Rp29,11 triliun kepada 590 pemerintah daerah/BUMD. Dari jumlah tersebut. 76.143 rekomendasi telah ditindaklanjuti sesuai arahan BPK.

Kemudian 36.578 rekomendasi senilai Rp10,55 triliun telah ditindaklanjuti tetapi belum sesuai arahan. Sedangkan 76.143 rekomendasi senilai Rp10,8 triliun belum ditindaklanjuti dan 363 rekomendasi senilai Rp5,46 triliun tidak dapat ditindaklanjuti. "Terhadap rekomendasi tersebut, entitas telah menindaklanjuti dengan penyerahan aset/penyetoran ke kas negara/daerah senilai Rp5,46 triliun," ungkap BPK.

BPK juga memantau 6.139 rekomendasi senilai Rp41,33 triliun kepada BUMN pada periode yang sama. Dari jumlah tersebut, sebanyak 3.687 rekomendasi senilai Rp21,88 triliun telah ditindaklanjuti sesuai arahan. Kemudian 1.091 rekomendasi senilai Rp13,26 triliun telah ditindaklanjuti belum sesuai arahan. Sebanyak 1.288 rekomendasi senilai Rp3,42 triliun belum ditindaklanjuti dan 73 rekomendasi atau Rp2,77 triliun tidak dapat ditindaklanjuti.

Terhadap rekomendasi tersebut, BUMN telah menindaklanjuti dengan penyerahan aset/penyetoran ke kas negara atau perusahaan senilai Rp6,34 triliun.

Utang Negara

Pada bagian lain, BPK mengingatkan pemerintah untuk menjaga tingkat rasio utang yang tercatat meningkat dalam empat tahun terakhir. Meski rasio utang tercatat masih di bawah ambang batas aman, BPK meminta agar pemerintah tetap menjaga tingkat utang sesuai dengan kemampuan negara untuk membayar.

Menurut Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara, rasio utang mengalami peningkatan selama tahun 2015-2017. Dimana, pada 2015 silam rasio utang mencapai 27,4% terhadap total produk domestik bruto (PDB) nasional. Selanjutnya meningkat  menjadi 28,3% pada 2016 dan 29,93% di tahun 2017.

Memasuki tahun 2018, rasio utang tercatat turun tipis menjadi 29,81% terhadap PDB nasional. "Ya, memang masih di bawah ambang batas, tapi kita warning pemerintah. Hati-hati, lama-lama makin meningkat," ujarnya.

Moermahadi menjelaskan, peningkatan rasio utang ini tidak lepas dari realisasi pembiayaan utang dari tahun 2015-2018. Yakni pada 2015 mencapai Rp 380 triliun, tahun 2016 sebanyak Rp 403 triliun.

Selanjutnya pada tahun 2017 mencapai Rp 429 triliun dan pada 2018 sebesar Rp 370 triliun. Adapun sampai dengan 31 Desember 2018, menurut audit BPK, nilai pokok atas utang pemerintah telah menembus Rp 4.466 triliun. "Nilai pokok utang ini terdiri dari utang luar negeri sebesar Rp 2.655 triliun atau 59 persen dan utang dalam negeri sebesar Rp1.811 triliun atau 41 persen. Jadi warning kita tetap pada utang," ujarnya.

Sementara itu, BPK juga mencatat telah terjadi realisasi dalam peningkatan belanja subsidi dalam APBN 2017. Moermahmudi mengatakan, total belanja subsidi hingga akhir 2018 mencapai  Rp 216 triliun, atau melebihi pagu anggaran yang ditetapkan APBN sebesar Rp 156 triliun. Realisasi subsidi itu juga naik Rp 50 triliun dibanding realisasi pada 2017.

Meningkatnya belanja subsidi disebabkan karena adanya pembayaran utang subsidi tahun-tahun sebelumnya sebesar Rp 25 triliun, realisasi nilai minyak mentah Indonesia sebesar US$67,5 per barrel yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan asumsi APBN sebesar US$48 per barrel. Selain itu kondisi nilai tukar rupiah juga dibawah dengan asumsi pemerintah.

Di sisi lain, terdapat penyediaan bahan bakar minyak dan listrik oleh badan usaha melalui skema subsidi maupun skema penugasan, yang harga jualnya ditetapkan pemerintah di bawah harga keekonomisan. Karena itu, BPK menilai pemerintah dan DPR perlu membahas skema pengelolaan keuangan dan pelaporan pertanggungjawaban yang tepat.

Menanggapi peringatan BPK mengenai kenaikan utang pemerintah pusat, Menkeu Sri Mulyani Indrawati menuturkan kenaikan utang tersebut salah satunya karena sepertiga belanja pemerintah ditransfer ke daerah, sehingga tak tercatat di neraca pemerintah.

Anggaran dalam belanja pemerintah berasal dari penerimaan, termasuk penerimaan yang bersumber dari utang. Sehingga ketika ada belanja pemerintah yang tak tercatat, hal ini juga mempengaruhi penyerapan belanja, dan pada akhirnya mempengaruhi defisit anggaran. Nah defisit anggaran yang melebar tentunya akan membuat pemerintah menarik utang lebih banyak lagi.

"Sehingga kalau misalkan ada concern seperti utang, tentu akan dipengaruhi oleh apakah belanja pemerintah menciptakan apa yang disebut modal, yang akan mempengaruhi ekuitas pemerintah. Itu sangat dipengaruhi oleh belanja ke daerah," ujar Sri Mulyani di Gedung DPR, Selasa (28/5).

Untuk itu, Sri Mulyani bersama BPK akan mulai merancang suatu cara agar neraca pemerintah bisa betul-betul mencerminkan kebijakan pemerintah. Saat ini, prinsip laporan keuangan pemerintah daerah juga belum terkonsolidasi dengan pemerintah pusat.

"Dari keseluruhan belanja APBN, kita harus mulai memikirkan secara serius, bagaimana neraca itu betul-betul mencerminkan bagaimana policy dan UU kita dalam mengatur belanja pemerintah. Itu mungkin yang jadi PR kita bersama BPK, yang nanti kita bahas bersama pada saat pembahasan audit ini," ujarnya seperti dikutip CNNIndonesia.com.

Meski demikian, Sri Mulyani menanggapi positif opini BPK terhadap laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP) 2018. Selain jumlah kementerian dan lembaga yang mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) meningkat menjadi 81, jumlah kementerian lembaga yang mendapat opini Tidak Menyampaikan Pendapat atau disclaimer pun menurun menjadi hanya 1, yakni Badan Keamanan Laut (Bakamla).

Sebelumnya BPK mencatat utang pemerintah pusat yang mencapai Rp 4.466 triliun, terdiri dari utang luar negeri Rp 2.655 triliun dan utang dalam negeri Rp 1.811 triliun. Total utang pemerintah pusat tersebut mencapai 29,81% terhadap PDB hingga akhir 2018. Meskipun masih di bawah 60% sesuai batas maksimal UU Keuangan Negara, namun menurutnya utang ini semakin lama akan semakin bertambah.

"Kan masih di bawah itu (rasio utang), tapi kita kan warning. Masih bawah rasio terhadap PDB, tapi kita warning. Ini makin lama makin meningkat," ujar Kepala BPK. bari/mohar/fba

BERITA TERKAIT

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…