"Capital Flight" Berlanjut Karena Belum Ada Perbaikan Signifikan

Oleh: Djony Edward

Kabar buruk perang dagang AS-China dan defisit transaksi perdagangan telah membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah dan rupiah terpuruk. Fenomena ini membuat investor asing menarik investasinya di pasar modal dan diperkirakan berlanjut.

Seperti diketahui Presiden AS Donald Trump memutuskan untuk menaikan bea masuk untuk barang impor China sebesar US$200 miliar dari 10% menjadi 25%. Kebijakan AS ini mendapat balasan langsung dari Presiden China dengan menaikkan bea masuk barang impor AS sebesar US$60 miliar dari 10% menjadi 25%.

Kabarnya China ingin mengeskalasi perang dagang ini dengan membetot investasinya pada obligasi (treasury bill—T-Bills) AS sebagai aksi paling akhir. Kalau itu terjadi maka AS bisa collapse.

Berdasarkan data Departemen keuangan AS Saat ini, China  memegang T-Bills senilai US$1,13 triliun dari total US$22 triliun surat utang AS yang beredar. Meski terlihat kecil namun mencapai 17,7 %.Jadi bukan tidak mungkin China membalas dengan melepas surat utangnya di AS.

Sampai April 2018 total dana asing yang lari (capital flight) dari pasar modal mencapai Rp3 triliun. Jumlah itu terus bertambah sepanjang bulan Mei 2019, hal ini terlihat dari rupiah yang terus melemah 1,45% ke level Rp14.500 per dolar AS dan IHSG terkoreksi hingga ke level 5871.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengungkapkan dampak perang dagang dan defisit transaksi berjalan membuat modal asing keluar, terutama pada investasi portfolio. Yang agak ekstrim capital outflow terjadi pada 13-16 Mei lalu total dana keluar mencapai Rp11,3 triliun.

“Rinciannya, Rp7 triliun dari Surat Berharga Negara (SBN) dan Rp4,3 triliun dari pasar saham,” kata Perry kepada pers usai shalat Jumat (17/5).

BI sendiri mencatat Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) membukukan surplus senilai US$2,4 miliar pada 3 bulan pertama tahun ini. Namun sayangnya, transaksi berjalan yang merupakan salah satu indikator dari hitungan NPI, membukukan defisit senilai US$7 miliar pada kuartal pertama tahun ini atau setara dengan 2,6% dari PDB.

Jika dibandingkan defisit pada kuartal-IV 2018 yang sebesar 3,6% dari PDB, memang nampaknya terjadi penurunan, tetapi jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu kuartal-I 2018 yang  senilai US$5,19 miliar atau 2,01% dari PDB, ternyata defisit itu makin membengkak. Artinya defisit kuartal pertama saja sudah lebih tinggi, maka ada potensi bahwa defisit transaksi berjalan (current account deficit–CAD) untuk keseluruhan tahun 2019 akan lebih tinggi.

Hal ini menyebabkan prospek rupiah menjadi suram. Semuanya karena rupiah bergantung pada transaksi berjalan sebagai elemen yang sangat penting, yang menggambarkan pasokan devisa tetap.

Melihat realitas tersebut di atas, investor asing langsung bergerak cepat meninggalkan pasar obligasi dan pasar saham Indonesia pasca mendengar kabar yang tak mengenakan terkait dengan rilis data perdagangan internasional periode April 2019.

Sepanjang bulan lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa ekspor Indonesia turun hingga 13,1% secara tahunan. Sementara itu, impor melemah sebesar 6,58%, lebih baik dibandingkan konsensus yang memperkirakan kejatuhan sebesar 11,36%.

Alhasil, neraca dagang Indonesia membukukan defisit senilai US$2,56 miliar, jauh lebih besar dibandingkan konsensus yang hanya sebesar US$497 juta. Defisit pada bulan April menjadi yang pertama dalam 3 bulan terakhir. Pada bulan Februari, neraca dagang membukukan surplus senilai US$330 juta, sementara surplus pada bulan Maret adalah senilai US$540 juta.

Ketika rupiah melemah, investor asing berpotensi menanggung yang namanya kerugian selisih kurs sehingga wajar jika aksi jual dilakukan di pasar saham dan pasar obligasi tanah air.

Gubernur BI mengatakan, nilai tukar rupiah yang melemah pada Mei 2019 tidak terlepas dari pengaruh sentimen global terkait eskalasi perang dagang sehingga memberikan tekanan terhadap mata uang negara berkembang, termasuk rupiah.

Selain itu, pola musiman peningkatan permintaan valas untuk kebutuhan pembayaran dividen non-residen turut mempengaruhi pelemahan rupiah.

Perry menilai pelemahan ini tidak terlepas dari pengaruh sentimen global terkait eskalasi perang dagang Amerika Serikat (AS)-Cina sehingga memberikan tekanan terhadap mata uang negara berkembang, termasuk rupiah. Selain itu, pola musiman peningkatan permintaan valas untuk kebutuhan pembayaran dividen nonresiden turut memengaruhi pelemahan rupiah.

"Biasanya karena impor yang meningkat. Selain itu banyak perusahaan yang melakukan pembayaran dividen, baik bunga maupun pokok utang," ujar Gubernur BI Perry Warjiyo.

Untuk mendukung efektivitas kebijakan nilai tukar dan memperkuat pembiayaan domestik, Perry mengatakan, BI terus mengakselerasi pendalaman pasar keuangan, baik di pasar uang maupun valas. BI dan Pemerintah juga terus mendorong ekspor.

Menurut Perry, sejumlah  barang di Indonesia masih sangat kompettiif untuk diekspor seperti alat-alat otomotif dan CPO. Dalam rangka mendorong ekspor ini, langkah yang dilakukan yaitu memberikan kemudahan perizinan, pemotongan prosedur dan pemberian insentif pajak.

Bersama pemerintah, BI juga mendorong investasi swasta. Investasi swasta ini akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sekaligus mengendalikan devisit transaksi.

Ke depan, Bank Indonesia memandang nilai tukar Rupiah akan bergerak stabil dengan mekanisme pasar yang tetap terjaga sejalan dengan prospek NPI 2019 yang membaik. Seiring arus modal asing yang masuk meningkat, di kuartal ketiga dan keempat defisit transaksi berjalan akan terus turun.

Sayangnya upaya yang dilakukan BI, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan pemerintah belum cukup signifikan mencegah pelemahan rupiah dan IHSG lebih lanjut.

Itu sebabnya masih diperlukan langkah konkrit otoritas terkait untuk mencegah pelemahan rupiah dan IHSG. Pada gilirannya juga dapat mencegah arus modal keluar yang berlanjut, sebab kalau hal ini tidak diantisipasi, maka cadangan devisa yang hingga akhir April 2019 masih di level US$124,29 miliar bisa drop lagi di kisaran US$113 miliar. (www.nusantara.news)

BERITA TERKAIT

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…

BERITA LAINNYA DI Opini

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…