Pemerintah dan DPR Diminta Ubah Ketentuan Defisit APBN

 

 

 

NERACA

 

Jakarta - Mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Burhanuddin Abdullah menyarankan pemerintah dan DPR mengubah ketentuan defisit APBN yang saat ini dibatasi maksimal sebesar tiga persen setiap tahun fiskal berjalan. Menurut Burhanuddin, pengelolaan defisit APBN seharusnya lebih fleksibel, dengan memperhatikan kebutuhan ekspansi belanja pemerintah, namun tetap menjaga kehati-hatian pengelolaan fiskal.

Dia menyarankan ketentuan defisit maksimal APBN sebaiknya dihitung secara rata-rata dalam satu tahun pemerintahan, bukan setiap tahun fiskal berjalan. "Jadi kalau pemerintah memerlukan anggaran untuk stimulus dalam suatu waktu, bisa dihidupkan stimulusnya dari APBN. Jadi defisit APBN dihitung rata-rata setiap satu kali pemerintahan saja," ujarnya.

Adapun saat ini, pemerintah mengelola defisit APBN agar tidak melebihi tiga persen setiap tahunnya sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Ketentuan dalam UU tersebut mengacu pada standar Maastricht Treaty yang berlaku di Eropa.

Burhanuddin menyarankan pemerintah dan DPR mengkaji kembali bentuk adaptasi dari Maastricht Treaty itu. Menurut Mantan Gubernur BI yang juga Mantan Menko Perekonomian itu, Masstricht Treaty itu hanya sekedar anjuran, dan tidak perlu diberlakukan sebagai Undang-Undang. "Jadi ketentuan itu sebenarnya malah membatasi. Itu bisa dipikirkan untuk diubah," ujar dia.

Pelonggaran defisit APBN, kata dia, dibutuhkan agar pemerintah leluasa memberikan stimulus ke perekonomian, terutama sektor riil. Pelonggaran itu bisa dilakukan, ujar Burhanuddin, asalkan pemerintah benar-benar bisa menerapkan pengelolaan fiskal yang hati-hati dan terukur. "Tapi ada catatan, pemerintah harus hati-hati untuk kelola fiskalnya," ujar dia.

Sementara itu, defisit anggaran di sepanjang tahun ini diperkirakan melebar seiring dengan melesetnya asumsi makro di dalam APBN 2019. Direktur Eksekutif Core Indonesia Mohammad Faisal memperkirakan harga minyak dunia di sepanjang tahun ini akan berada di kisaran US$64 per barel. Perkiraan tersebut berada di bawah asumsi harga ICP yang ditetapkan pemerintah di dalam APBN 2019 senilai US$70 per barel.

Dengan demikian, perolehan penerimaan negara yang berasal dari PNBP serta pajak dari sektor migas beresiko lebih rendah dari ekspektasi. "Artinya pendapatan pemerintah yang dipicu dari harga minyak itu bisa lebih rendah dari yang ditargetkan. Shortfall bisa saja terjadi dan mempengaruhi belanja negara," ujarnya.

Faisal mengungkapkan Rupiah dan target lifting juga dapat terdeviasi cukup jauh dari asumsi yang ditetapkan. Hal tersebut dapat menambah tekanan terhadap potensi penerimaan di sepanjang tahun ini. Dengan demikian, dirinya memperkirakan efek windfall dari penerimaan migas seperti yang terjadi di sepanjang 2018 tak kembali terulang di tahun ini. "Bisa dibilang tahun lalu APBN terselamatkan oleh windfall. Dengan situasi seperti sekarang, saya kira defisitnya sampai akhir tahun bisa melebar sampai 2,5% PDB," ujarnya.

Pemerintah menargetkan dapat menjaga dan mengelola defisit anggaran berada di bawah kisaran 2% di sepanjang tahun ini. Di dalam APBN 2019, pemerintah memproyeksikan defisit anggaran sebesar 1,84% PDB atau senilai Rp296,0 triliun. Sampai akhir Februari 2019, realisasi defisit anggaran tercatat mencapai 0,34% PDB atau senilai Rp54,61 triliun. Realisasi defisit itu berasal dari selisih penerimaan negara senilai Rp217,21 triliun dengan belanja negara senilai Rp271,83 triliun.

Faisal menilai dalam kondisi tersebut, opsi pemerintah untuk mengerem belanja justru bukan menjadi pilihan yang bijak. Dirinya mengungkapkan ketika menghadapi tekanan eksternal, pemerintah harus menjaga daya beli dan konsumsi domestik. "Kalau melakukan pengetatan fiskal, justru itu dampaknya sangat negatif bagi pertumbuhan ekonomi. Belanja harus tetap ekspansif, namun penerimaan perlu digali lebih optimal," ujarnya.

 

BERITA TERKAIT

Arus Balik Lebaran 2024, Pelita Air Capai On Time Performance 95 Persen

NERACA Jakarta – Pelita Air (kode penerbangan IP),maskapai layanan medium (medium service airline), mencapai rata-rata tingkat ketepatan waktu penerbangan atau on-time…

UMKM Indonesia Bersaing di Tingkat Dunia Lewat Marketplace

UMKM Indonesia Bersaing di Tingkat Dunia Lewat Marketplace NERACA  Jateng - Dalam rangka program Literasi Digital di Indonesia, Kementerian Komunikasi…

Moody's Pertahankan Peringkat Kredit Indonesia

Moody's Pertahankan Peringkat Kredit Indonesia  NERACA Jakarta - Lembaga pemeringkat Moody's kembali mempertahankan peringkat kredit atau Sovereign Credit Rating Republik…

BERITA LAINNYA DI Ekonomi Makro

Arus Balik Lebaran 2024, Pelita Air Capai On Time Performance 95 Persen

NERACA Jakarta – Pelita Air (kode penerbangan IP),maskapai layanan medium (medium service airline), mencapai rata-rata tingkat ketepatan waktu penerbangan atau on-time…

UMKM Indonesia Bersaing di Tingkat Dunia Lewat Marketplace

UMKM Indonesia Bersaing di Tingkat Dunia Lewat Marketplace NERACA  Jateng - Dalam rangka program Literasi Digital di Indonesia, Kementerian Komunikasi…

Moody's Pertahankan Peringkat Kredit Indonesia

Moody's Pertahankan Peringkat Kredit Indonesia  NERACA Jakarta - Lembaga pemeringkat Moody's kembali mempertahankan peringkat kredit atau Sovereign Credit Rating Republik…