KIARA: Hari Nelayan Harus Didedikasikan Bagi Nelayan

NERACA

Jakarta – Wacana pemerintah melalui DPR dan Kemenko Maritim untuk menetapkan hari nelayan nasional menjadi 21 Mei dinilai tidak berangkat dari suara nelayan dan perempuan nelayan Indonesia. Sebelumnya, hari nelayan diperingati setiap tanggal 6 April sejak era pemerintah Soekarno dan masih menyimpan perdebatan terkait sejarahnya.

Terkait nelayan dan sejarah kebaharian nusantara, Indonesia memiliki hari Juanda dan Hari Maritim. Hari juanda merupakan momentum penting bagi sejarah Indonesia sebagai negara kepulauan. Sementara Hari Maritim menyimpan visi maritim Indonesia seperti yang dicanangkan Pemerintah Sukarno dan bisa dikatakan sebagai moment mencari bentuk kemajuan Indonesia dan identitas budayanya berdasar geopolitik  dan geografi kepulaannya.

Namun, wacana penetapan hari nelayan nasional menjadi tanggal 21 Mei yang saat ini tengah diwacanakan tampak hanya persoalan praktis saja. Tidak berangkat dari suara nelayan Indonesia maupun akar sejarah yang pantas untuk dijadikan rujukan dan simbolisasi suatu peringatan nasional. Menjadikan 21 Mei sebagai hari nelayan terkesan lebih sarat dengan kepentingan politik semata.

Idealnya, penetapan hari nelayan pun jika harus mengganti hari nelayan yang selama ini diperingati tiap 6 April, seharusnya menjadi momen untuk mengapresiasi perjuangan panjang nelayan dan perempuan nelayan sebagai pensuplai protein bangsa dan penjaga ekologi laut Indonesia.

Rencana penetapan 21 Mei sebagai hari nelayan sejauh ini belum jelas landasan pijak sejarah mau pun wacana tujuannya. Idealnya hari nelayan haruslah berkait dengan semangat perjuangan mau pun harapan kemajuan menyangkut nelayan itu sendiri.

Jika merujuk kepentingan, sejarah dan harapan para nelayan baik laki-laki maupun perempuan, 16 Juni lebih tepat dijadikan sebagai peringatan hari nelayan. Pasalnya di situ ada catatan sejarah kemenangan perjuangan nelayan Indonesia secara konstitusional untuk menjaga laut dan pulaunya dari kemungkinan korporatisme dan privatisasi yang jauh dari agenda mensejahterakan nelayan.

“Negara ini seharusnya menetapkan 16 Juni sebagai hari nelayan, hal ini berangkat dari sejarah besar nelayan Indonesia. Pada tanggal 16 Juni, Mahkamah Konstitusi mengakui Hak Konstitusional Nelayan Indonesia, apa saja hak konstitusional nelayan yaitu hak melintas, hak mengakses lautnya, hak mengelola lautnya sesuai dengan tradisi dan kearifan yang telah dijalankan turun temurun dan terakhir hak untuk mendapatkan laut yang bersih dan sehat,” kata Susan Herawati, Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), sebagaimana disalin dari siaran resmi.

Keputusan Mahkamah Konstitusi No 3/PUU-VIII/2010, tanggal 16 Juni 2011, adalah mengembalikan persoalan pengelolaan kawasan pesisir ke semangat dasar UUD 45 Pasal 33.  Atas dasar itulah, Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) sebagaimana tercantum dalam UU No 27 Tahun 2007 Pasal 1 (18), Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21 Pasal 22, Pasal 23 ( ayat 4 dan 5),  Pasal 50, Pasal 51, Pasal 60 (1), Pasal 71, Pasal 75 UU No 27 Tahun 2007 bertentangan dengan UUD 45.

Pada saat bersamaan, Mahkamah Konstitusi pada saat itu menilai pemberian HP3 melanggar prinsip demokrasi ekonomi karena akan membuat wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dikuasai pemilik modal besar. Penguasaan ini akan berdampak pada tersingkirnya nelayan dari ruang hidupnya yaitu pesisir, laut dan pulau-pulau kecil.

“Artinya, 16 Juni memiliki alasan lebih tepat untuk ditetapkan menjadi hari nelayan nasional. Karena pada tanggal 16 Juni nelayan Indonesia bangkit dan hak konstitusionalnya diakui melalui Keputusan MK No 3/PUU-VIII/2010. Ini kemenangan nelayan atas ruang hidupnya, dan tentu 16 Juni tidak sarat dengan urusan politik,” ujar Susan.

Susan juga menilai sudah waktunya orang kecil dari kalangan masyarakat yang nyata berkontribusi bagi bangsa ini seperti halnya para nelayan mendapat tempat terhormat dalam sejarah Indonesia. Hanya dengan cara pikir semacam itu, negara ini menunjukkan kesadaran yang lebih maju dan sesuai dengan semangat kemerdekaan Indonesia.

“Jangan hanya untuk tujuan seperti politik yang hanya sementara mesti sampai menutup hakikat sejarah yang lebih layak dijadikan rujukan dan tonggak kebangsaan. Hari nelayan harus dikembalikan kepada nelayan Indonesia. Supaya publik dan generasi kita mengingat kontribusi nelayan bagi bangsa ini. Di situlah visi kebaharian dan kemaritiman kita mestinya juga ditegakkan,” tutup Susan. 

BERITA TERKAIT

Konflik Iran dan Israel Harus Diwaspadai Bagi Pelaku Industri

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus memantau situasi geopolitik dunia yang tengah bergejolak. Saat ini situasi Timur Tengah semakin…

Soal Bisnis dengan Israel - Lembaga Konsumen Muslim Desak Danone Jujur

Yayasan Konsumen Muslim Indonesia, lembaga perlindungan konsumen Muslim berbasis Jakarta, kembali menyuarakan desakan boikot dan divestasi saham Danone, raksasa bisnis…

Tiga Asosiasi Hilir Sawit dan Forwatan Berbagi Kebaikan

NERACA Jakarta – Kegiatan promosi sawit dan bakti sosial diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bersama tiga asosiasi hilir sawit yaitu…

BERITA LAINNYA DI Industri

Konflik Iran dan Israel Harus Diwaspadai Bagi Pelaku Industri

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus memantau situasi geopolitik dunia yang tengah bergejolak. Saat ini situasi Timur Tengah semakin…

Soal Bisnis dengan Israel - Lembaga Konsumen Muslim Desak Danone Jujur

Yayasan Konsumen Muslim Indonesia, lembaga perlindungan konsumen Muslim berbasis Jakarta, kembali menyuarakan desakan boikot dan divestasi saham Danone, raksasa bisnis…

Tiga Asosiasi Hilir Sawit dan Forwatan Berbagi Kebaikan

NERACA Jakarta – Kegiatan promosi sawit dan bakti sosial diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bersama tiga asosiasi hilir sawit yaitu…