Demokrasi: E-KTP vs DPT

 

Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi., Dosen FEB Universitas Muhammadiyah Solo

 

Penegasan salah satu kandidat pada debat pilpres terkait optimalisasi peran E-ktp untuk semua kepentingan memang benar adanya sehingga mengurangi jumlah yang beredar saat ini sehingga dompet tidak penuh kartu. Pemanfaatan E-ktp bukan tanpa masalah. Persoalan pesta demokrasi di tahun politik, baik pilpres atau pileg ternyata kian pelik. Paling tidak, ini terkait kasus kepemilikan E-ktp oleh WNA dan juga terdaftar di DPT. Betapa tidak, siklus pesta demokrasi 5 tahunan ternyata selalu berkutat dengan kasus DPT, meski sudah diperbarui, faktanya masih memicu problem yang kemudian menjadi kambing hitam di tiap pesta demokrasi. Hal ini seolah mencibir tentang pendewasaan kehidupan demokrasi di republik ini. Dengan sistem online dan registrasi semua data terangkum dalam sistem secara nasional seharusnya tidak ada E-ktp ganda dan secara otomatis tidak ada kisruh DPT.  Ironisnya kasus ini cenderung terus berulang dan semua pembaruan DPT yang dilakukan instansi terkait tidak pernah dianggap beres.

Jika dicermati, sejatinya persoalan demokrasi yang terjadi di republik ini tidak terlepas dari kepentingan untuk bisa harus memang, entah dengan cara apapun. Padahal, menang dengan menjadi pecundang tentu tidak akan nyaman, setidaknya demokrasi dengan cara demikian akan terus menimbulkan ‘dendam kesumat’. Sejatinya demokrasi itu sendiri membutuhkan pendewasaan dalam melihat semua persoalan yang ada.

Oleh karena itu, apa yang terjadi dengan kisruh DPT dan E-ktp sejatinya adalah persoalan klasik yang seharusnya tidak terus muncul dalam periode 5 tahunan pesta demokrasi. Pemutakiran yang melibatkan Depdagri, Kelurahan dan Kecamatan di setiap daerah seharusnya bisa menuntaskan persoalan yang ada dan akhirnya pesta demokrasi berlangsung sukses untuk melahirkan kepemimpinan sesuai dengan amanat rakyat tanpa kebencian SARA.

Jaminan

Pokok persoalan dibalik carut marut pesta demokrasi di republik ini sejatinya bermuara dari ketidakpercayaan. Analoginya petahana selalu dianggap harus menang sehingga bisa 2 periode. Padahal, petahana sejatinya juga bisa kalah dan digantikan. Persoalannya petahana memiliki kekuasaan dan juga memungkinkan menerapkan kebijakan populis demi mendulang kemenangan untuk bisa 2 periode sesuai amanat perundangan. Terkait ini sebenarnya peluang petahana untuk memanfaatkan kekuasaanya dilakukan banyak petahana dan hal ini sah adanya.

Begitu juga jika kemudian Jokowi menerapkan aturan dana desa, rencana dana kelurahan, termasuk juga rencana peluncuran kartu pra kerja maka hal ini adalah salah satu kebijakan populis untuk mendulang suara demi menang untuk 2 periode. Bahkan, penurunan harga BBM dan penyerahan sertifikat tanah untuk rakyat yang disiarkan media juga bisa menjadi strategi petahana untuk menang lagi, juga kenaika gaji dan pencairan gaji ke-13 serta THR bagi jutaan ASN.

Pesaing memang terasa berat jika harus berhadapan dengan petahana, namun realitas ini adalah pilihan sulit yang harus diterima. Belajar bijak dari kasus Ahok petahana yang akhirnya dikalahkan oleh Anis-Sandi dalam pilkada DKI Jakarta memberikan gambaran bahwa semuanya dimungkinkan dalam pesta demokrasi. Meski demikian, harus juga dipahami bahwa menang dengan cara elegan dan terhormat jauh lebih penting daripada sekedar menang tapi menjadi pecundang karena dicapai dengan kampanye hitam, hoax, sebaran kebencian dan juga kampanye negatif, termasuk juga sebaran isu SARA yang berbalut pengerahan umat. Oleh karena itu, pendewasaan dalam kehidupan demokrasi memang harus dibangun sedari dini dan harus dimulai sekarang sebab jika tidak maka demokrasi yang terjadi bukan menimbulkan sentimen positif, tapi justru negatif.

Keyakinan terkait ancaman sentimen terhadap demokrasi bisa terlihat dari apatisme dari kaum milenial dalam memahami pesta demokrasi itu sendiri. Betapa tidak, data tentang golput cenderung terus meningkat dan hal ini tidak bisa terlepas dari kekacauan selama pesta demokrasi, meski di sisi lain tidak bisa terlepas dari maraknya korupsi petinggi di republik ini baik yang menduduki jabatan di legislatif dan eksekutif termasuk juga fakta ancaman korupsi yang melibatkan swasta. Selain itu, tebang pilih dalam berbagai kasus juga menjadi pembenar dibalik kasus golput. Ancaman golput dari kaum milenial saat ini juga diprediksi tinggi. Padahal, dari 193 juta pemilih sekitar 80 juta atau 40 persen berasal dari kaum milenial. Yang juga menarik dicermati bahwa kaum milenial adalah mereka yang melek teknologi dan rentan terhadap isu-isu politis.

Kepentingan

Sensitivitas kaum milenial sebagai pendulang suara dalam pesta demokrasi di tahun politik ini maka berbagai isu politis haruslah direduksi. Oleh karena itu, kisruh DPT dan E-ktp baik yang tercecer atau kepemilikan oleh WNA harus secepatnya diantisipasi agar kaum milenial tidak bersikap antipati terhadap hajatan pesta demokrasi. Kekhawatiran ini harus menjadi proses pembelajaran bagi KPU pada khususnya dan pemerintah pada umumnya agar ke depan mampu membangun kehidupan demokrasi yang lebih baik lagi dan tidak memutarbalikan persepsian tentang pesta demokrasi.

Betapa tidak, asumsi dari pesta adalah situasi yang penuh dengan kegembiraan, tetapi yang terjadi sebaliknya pesta demokrasi baik dalam pileg, apalagi pilpres justru dipenuhi dengan berbagai isu – hoax, kampanye hitam, kampanye negatif dan ujaran kebencian, termasuk yang berbalut SARA dengan pengerahan umat melalui label agama tertentu. Jadi, jangan salahkan jika angka golput cenderung terus meningkat setiap tahun dan realita ini seharusnya menjadi pembelajaran bagi pemerintah.

Membangun keperilakuan dalam pesta demokrasi yang lebih santun, elegan dan juga bermartabat menjadi PR dan tantangan pemerintah agar ke depan tidak ada lagi pesta demokrasi yang menyisakan dendam kesumat bagi yang kalah. Pelajaran berharga dari kasus E-ktp dan DPT setiap siklus 5 tahunan seharusnya tidak boleh lagi terulang pada pesta demokrasi ke depan. Setidaknya sudah banyak kambing hitam yang dikorbankan  hanya karena dalih E-ktp dan DPT.

Oleh karena itu, pesta demokrasi di tahun 2019 ini harus menjadi titik awal pendewasaan berkehidupan demokrasi karena 5 tahun ke depan akan ada petarung baru dalam hajatan pesta demokrasi yang semuanya benar-benar baru maju di pertarungan pesta demokrasi. Sudahilah kisruh E-ktp dan DPT sehingga esensi dari pesta demokrasi akan benar-benar menjadi mimpi bersama yang mampu melahirkan  pemimpin yang amanah sesuai pilihan nurani rakyat di republik ini.

 

BERITA TERKAIT

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…

BERITA LAINNYA DI Opini

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…