Data Eksplorasi Migas Indonesia Masih Lemah

 

NERACA

 

Jakarta - Anggota legislatif Komisi VII DPR Tjatur Sapto Edy menilai bahwa sistem data eksplorasi minyak dan gas bumi di Indonesia masih lemah atau belum memadai. “Lemahnya data tersebut, menyebabkan penemuan cadangan migas baru juga tidak banyak tercapai,” kata Tjatur dalam diskusi migas di Jakarta, Kamis (21/3).

Menurutnya, harusnya ada pendanaan khusus untuk penguatan data, sehingga investor akan lebih mudah serta tertarik jika sistem data migas sudah tercukupi. Penilaian tersebut ia dapat dari keluhan dari beberapa kontraktor migas yang pernah disampaikan kepada anggota legislatif. Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mendorong sinergi data energi untuk anggota Asia Pacific Economic Countries (APEC) dalam forum The 30th Meeting of the APEC Expert Group on Energy Data and Analysis (EGEDA).

Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Ego Syahrial dalam sambutannya saat membuka pertemuan EGEDA mengatakan bahwa forum ini sangat penting dalam upaya sinkronisasi data dan informasi bidang energi antara negara-negara anggota APEC. "Kementerian ESDM sangat mengedepankan data yang akurat dan transparan, karena hal ini merupakan dasar untuk menguatkan kebijakan energi. Pertemuan ini memiliki peranan penting dalam berbagi pengalaman untuk mengumpulkan data," ujarnya.

Dalam kesempatan yang sama APERC Senior Vice President EGEDA Chair James Kendell menyampaikan bahwa pertemuan ini diharapkan memberikan data yang akurat untuk penguatan analisis pada keamanan energi, efisiensi energi, energi berkelanjutan serta ketahanan energi. Hal ini sejalan dengan tujuan dari EGEDA yaitu dapat mempertemukan kebutuhan data yang didukung oleh teknologi internet.

Pusat Data dan Teknologi Informasi Kementerian ESDM sebagai clearing housedata sektor ESDM berusaha menginisiasi kebutuhan tersebut, dengan tugas dan fungsinya mencakup pengelolaan data sektor, penyiapan data sektor untuk organisasi internasional seperti Joint Organization Data Initiatives (JODI) dan APEC. Pusdatin melakukan pengumpulan data dari unit-unit di lingkungan Kementerian ESDM serta pemangku terkait, kemudian melakukan pengolahan hingga pengiriman data dimaksud kepada badan koordinasi (coordinating agency) yaitu APERC.

Dana Eksplorasi 

Sebelumnya, Pemerintah siap mengeluarkan dana USD1,1 miliar atau setara Rp15,4 triliun (kurs Rp14.000 per USD) untuk kegiatan eksplorasi migas dari total modal komitmen kerja pasti sebesar USD2,1 miliar atau sekitar Rp31,5 triliun. 

Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan saat ini ada dana yang cukup besar untuk eksplorasi, baik dalam maupun luar wilayah kerja minyak dan gas. Kegiatan eksplorasi dibutuhkan untuk mengatasi defisit migas yang makin besar mulai 2025 hingga mencapai puncaknya pada 2050. “Ini dana yang bisa digunakan untuk eksplorasi 5-10 tahun ke depan. Dana ini kami harapkan terus bertambah,” ujar Arcandra.

Menurut Arcandra, dana eksplorasi saat ini yang berasal dari komitmen kerja pasti dari kontrak-kontrak dengan skema gross split jauh lebih baik dibanding sebelumnya yang hanya sebesar USD5 juta. Dana tersebut sangat kecil dengan begitu banyak wilayah yang belum dieksplorasi. Selain dana eksplorasi, pemerintah juga berencana memperbaiki dari sisi penggunaan data untuk kebutuhan seismik. Data-data kebutuhan untuk eksplorasi akan dibuka bagi perusahaan-perusahaan yang berminat.

“Data-data akuisisi akan dibebaskan. Karena selama ini, dana PNBP dari akses data hanya sekitar USD1 juta. Jadi kita akan revisi Permen Nomor 27 Tahun 2006,” ungkap Arcandra. Sementara itu, Syamsu Alam, Ketua Alumni Teknik Geologi ITB, mengatakan hingga 2050 kebutuhan migas khususnya minyak secara persentase belum berkurang secara signifikan dan mencapai 2 juta-3 juta barel per hari (bph).

Di sisi lain, jika melihat cadangan Indonesia 3,5 miliar BOE atau hanya 0,2% dari cadangan minyak dunia, sehingga butuh usaha luar biasa agar produksi nasional bisa memenuhi kebutuhan masyarakat. “Kita harus ingat, produksi minyak saat ini 800 ribu barel per hari itu yang 200 ribu bph berasal dari Banyu Urip. Kalau tidak ada Banyu Urip, produksi hanya 500 ribuan. Kalau tidak menemukan Banyu Urip lainnya, kita akan menghadapi masalah besar nantinya,” ujar Syamsu.

BERITA TERKAIT

Pemeran Bangkok RHVAC dan Bangkok E&E 2024 akan Tampilkan Inovasi dan Teknologi Terkini

Pemeran Bangkok RHVAC dan Bangkok E&E 2024 akan Tampilkan Inovasi dan Teknologi Terkini NERACA Jakarta - Bangkok RHVAC 2024 dan…

Defisit Fiskal Berpotensi Melebar

    NERACA Jakarta - Ekonom Josua Pardede mengatakan defisit fiskal Indonesia berpotensi melebar demi meredam guncangan imbas dari konflik Iran…

Presiden Minta Waspadai Pola Baru Pencucian Uang Lewat Kripto

  NERACA Jakarta – Presiden RI Joko Widodo meminta agar tim Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan kementerian…

BERITA LAINNYA DI Ekonomi Makro

Pemeran Bangkok RHVAC dan Bangkok E&E 2024 akan Tampilkan Inovasi dan Teknologi Terkini

Pemeran Bangkok RHVAC dan Bangkok E&E 2024 akan Tampilkan Inovasi dan Teknologi Terkini NERACA Jakarta - Bangkok RHVAC 2024 dan…

Defisit Fiskal Berpotensi Melebar

    NERACA Jakarta - Ekonom Josua Pardede mengatakan defisit fiskal Indonesia berpotensi melebar demi meredam guncangan imbas dari konflik Iran…

Presiden Minta Waspadai Pola Baru Pencucian Uang Lewat Kripto

  NERACA Jakarta – Presiden RI Joko Widodo meminta agar tim Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan kementerian…