LAPORAN PENGADUAN MASYARAKAT TAHUN INI CAPAI 500 KASUS - Meresahkan, Satgas OJK Tutup 803 Fintech Ilegal

Jakarta-Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi OJK sampai sekarang sudah menutup 803 perusahaan penyelenggara layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi (fintech peer to peer lending-P2P) ilegal. Sementara itu, sekitar 500 korban fintech sudah melaporkan kasusnya ke pihak asosiasi sejak Januari hingga awal Maret 2019.

NERACA

Dari jumlah 803 perusahaan, sebanyak 168 fintech ilegal itu ditemukan selama periode akhir Februari hingga pekan lalu (5/3).  Ini berarti, dalam waktu 35 hari, Satgas Waspada Investasi OJK menemukan 168 fintech ilegal baru. Sebelumnya OJK telah menutup kegiatan fintech ilegal hingga 635 perusahaan.  

Menurut Ketua Satgas Waspada Investasi OJK Tongam L Tobing, pihaknya bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), termasuk Google, telah memblokir 635 fintech ilegal.

Sebelumnya Satgas Waspada Investasi mengirimkan surat kepada Kominfo untuk kembali memblokir 168 fintech tersebut. Sejalan dengan itu, satgas juga telah berkoordinasi dengan Bareskrim jika fintech tersebut terbukti melakukan pelanggaran pidana.

"Minggu depan akan kami umumkan, sehingga ini memberikan pesan kepada masyarakat dan pelaku bahwa kami tidak tinggal diam. Kami tidak akan membiarkan mereka melakukan penawaran yang bisa merusak kepercayaan masyarakat terhadap fintech," ujarnya di Jakarta, Jumat (8/3).

Tongam mengatakan, fintech ilegal tersebut banyak ditemukan di Play Store dan website. Namun demikian, lanjutnya, satgas belum mendata asal negara penyedia fintech tersebut.  Sebetulnya, menurut dia, Satgas telah bekerja sama dengan Google untuk mengontrol aplikasi fintech. Sayangnya, Google tidak mampu mendeteksi fintech ilegal karena siapa pun bisa memasukkan aplikasi dalam Play Store. "Oleh karena itu, saat ini kami melakukan deteksi dini dan blokir dini," ujarnya.  

Tongam juga menyebut ada modus baru fintech ilegal yang menawarkan pinjaman lewat media sosial Instagram. Parahnya, fintech tersebut mengatasnamakan OJK. Menurut dia, ada tujuh fintech ilegal yang memanfaatkan modus tersebut. Akhirnya Satgas bekerja sama dengan Kominfo dan Bareskrim untuk memblokir fintech tersebut. "Oleh karena itu, kesadaran masyarakat sangat menentukan. Masyarakat kalau mau meminjam dan butuh uang pinjam lah pada fintech yang terdaftar," tutur dia.

Pada bagian lain, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama (AFPI) memaparkan jumlah pengaduan dari korban fintech di sektor layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi (P2P lending) sudah mencapai 500 kasus sejak Januari sampai awal Maret 2019.

Menurut Wakil Ketua Umum AFPI Sunu Widyatmoka, pengaduan itu masuk melalui saluran informasi atau posko pengaduan nasabah fintech P2P lending bertajuk “Jendela”. Sarana tersebut disediakan langsung oleh penyelenggara yang tergabung dalam AFPI.  "Jendela ini sudah ada tiga bulan, yang melapor tidak banyak. Dari 500 pengaduan ini sebanyak 70% itu terkait fintech ilegal," ujarnya di Jakarta, akhir pekan lalu.  

Sementara sisanya sebanyak 30% menyangkut fintech P2P lending legal atau yang sudah tercatat di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Namun demikian, dia tak merinci lebih lanjut nama fintech P2P lending yang diadukan oleh nasabah.  "Intinya, kami berkomitmen memenuhi apa yang menjadi fokus pelanggan, terkait masalahnya campur ada soal penagihan, bunga, dan lain-lain pokoknya banyak," ujarnya.  

Sunu mengatakan, pihaknya tidak bisa membuka sepenuhnya mengenai permasalahan nasabah yang mengadu ke saluran informasi milik AFPI. Yang pasti, seluruh aduan tersebut diproses di bagian internal AFPI dan belum diserahkan ke OJK. "Kami ada komite etik, beberapa sudah sampai komite etik untuk ditangani," ujarnya.  

Dia menjelaskan seluruh nasabah yang menjadi korban fintech bisa mengadu ke Jendela milik AFPI melalui telepon ke 150505 dan surat elektronik (email) ke pengaduan@afpi.or.id. Jam kerja tempat pengaduan korban fintech ini dimulai dari 08.00-17.00 WIB setiap Senin sampai Jumat.

"Untuk karyawannya, ada tiga sampai empat. Intinya kami berjalan sesuai kebutuhan, karena kami melihat ada yang melapor ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) tapi sudah enam bulan kasusnya tetap gantung," ujarnya.  

Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank Riswinandi menuturkan, pihaknya tak serta-merta langsung mencabut izin operasional perusahaan jika memang ada fintech legal yang diadukan melalui AFPI. Sebelum sampai tahap itu, AFPI dan OJK perlu mempelajari betul kasus yang diadukan oleh nasabah. "Bergantung isunya apa, tidak bisa langsung bilang akan dicabut. Lihat dulu siapa yang salah, nanti akan dilihat," ujarnya.

Perlu UU Khusus?

Ombudsman Republik Indonesia (ORI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai, perlu ada Undang-Undang (UU) yang mengatur financial techonology (fintech) pinjaman (lending). Tanpa peraturan setingkat UU, menurut Ombudsman RI dan OJK sulit mengatasi sepak terjang fintech pinjaman ilegal.

Masalahnya, kendati Satgas Waspada Investasi OJK sudah memblokir platformnya, fintech pinjaman ilegal akan membuat yang baru. “Indonesia butuh regulasi setingkat UU terkait penyelewengan atau kejahatan (fraud) online yang ‘berbaju’ fintech,” ujar anggota Ombudsman Dadan Suparjo Suharmawijaya di Jakarta seperti dikutip cnnindonesia.com, Jumat (8/3).

Untuk mengkaji hal itu, ORI mengundang Kementerian dan Lembaga (K/L) terkait seperti OJK, Satgas Waspada Investasi, Bank Indonesia (BI), serta Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Salah satu kebijakan yang diharapkan membahas fintech pinjaman ilegal adalah Rancangan UU (RUU) Perlindungan Data Pribadi.

RUU tersebut sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2019. Dengan begitu, Dadan berharap aturan tersebut dirilis tahun ini juga. “RUU ini bukan hanya untuk fintech, tetapi juga untuk persoalan lain. Misalnya, di Kementerian Kominfo terkait masalah kartu pra bayar, dan lain sebagainya," ujarnya.  

Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi pun menyambut positif, undangan Ombudsman untuk mengkaji kebijakan tersebut. Sebab, OJK hanya mengatur dan mengawasi fintech pinjaman yang terdaftar. Sementara fintech pinjaman ilegal ditangani oleh Satgas Waspada Investasi dan Kepolisian RI.

Untuk itu, ia merasa perlu dibuat payung hukum setingkat UU guna memberi efek jera bagi fintech pinjaman ilegal. “Tentu ada sanksi pidana (kalau UU). Kalau di Peraturan OJK tidak ada, karena lebih rendah levelnya. Sanksi maksimal adalah pencabutan izin,” ujarnya.

Saat ini, OJK hanya mengacu pada Peraturan OJK (POJK) Nomor 77/2016 tentang layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi untuk mengatur fintech pinjaman. “Ini yang kami diskusikan. Semoga Ombudsman bisa mendorong lahirnya UU ini, sehingga ke depan penyelesaiannya juga bisa permanen," tutur Hendrikus.

Kendati begitu, dia berharap UU tersebut bersifat umum. Kalau UU tersebut mengatur fintech pinjaman secara rigid, ia khawatir industri ini akan sulit berkembang. “Bayangkan kalau UU sudah rigid sejak awal, justru akan memagari," ujarnya.

Sementara itu, Kasubdit Pengendalian Konten Internet Kementerian Kominfo Anthonius Malau mengatakan, instansinya sudah berupaya mengatasi fintech pinjaman ilegal. “Ketika Satgas Waspada Investasi mengatakan illegal kami melakuan pemblokiran. Ini dalam rangka perlindungan konsumen,” ujarnya. bari/mohar/fba

BERITA TERKAIT

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…