BUMN dan Makro Ekonomi - Oleh : Edy Muyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)

Banyak orang beranggapan jadi petinggi BUMN adalah anugrah. Gaji tinggi, fasilitas berlimpah, bonus-bonus dan tantiem selangit. Seabreg karunia tadi kian terasa legit, karena, konon, semuanya hampir pasti diperoleh walau kinerja manajemen pas-pasan, bahkan di bawah banderol.

Benar begitu? Bisa iya, bisa juga tidak. Pastinya, tidak semua BUMN mampu mengguyur pejabatnya dengan gaji dan fasilitas yang berlimpah-ruah. Faktanya, banyak juga BUMN yang nasibnya hidup segan mati tak mau. Kalau sudah begini, boro-boro  mampu menggerojok manajemen dengan pelbagai kenikmatan tadi. Bisa bertahan hidup saja sudah syukur banget.

Jika dilihat secara makro, fungsi BUMN tidak bisa dipandang sebelah mata. Mereka punya peran penting dalam mengakselerasi pembangunan ekonomi nasional. Pertumbuhan belanja modal atau capital expenditure (Capex) perusahaan pelat merah pada 2018 sekitar Rp550 triliun. Jumlah ini naik 10,6% dibandingkan proyeksi pada tahun lalu yang sebesar Rp497 triliun.

Selain APBN, tingginya Capex dapat menjadi salah satu faktor pendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Itulah sebabnya pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN terus mendorong agar BUMN meningkatkan belanja modalnya secara berkualitas, agar bisa memberi kontribusi maksimal bagi perekonomian nasional.

Dengan tugas seperti itu, kini tanggung jawab BUMN tidak semata-mata membayar dividen dan pajak. BUMN juga dituntut mengembangkan usahanya sehingga perekonomian Indonesia bisa tumbuh lebih positif.

Di sisi sosial, BUMN juga punya peran penting melalui pelaksanaan Corporate Social Responsibility (CSR). Dalam konteks ini, BUMN diminta mengalokasikan anggaran CSR-nya lebih terarah agar mampu berkontribusi positif terhadap masyarakat program pemberdayaan masyarakat. Alokasi anggaran yang tepat dan efektif akan menghindari CSR hanya untuk memenuhi kewajiban belaka, melainkan juga untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi masyarakat.

Sayangnya, peran positif BUMN terhadap pembangunan nasional masih terasa kurang terekspos dengan baik. Hal ini antara lain disebabkan lemahnya kemampuan BUMN dalam menyosialisasikannya kepada publik.

Di sisi lain, media juga tampaknya lebih suka mengangkat isu-isu yang dianggap negatif menyangkut BUMN. Tema-tema korupsi dan pelanggaran atas  tata kelola perusahaan yang baik atau good corporate governance (GCG) yang dilakukan petinggi BUMN relatif menempati porsi lebih di media massa. Mungkin hal ini disebabkan kru media masih menganggap bad news is good news. Tapi, setidaknya berilah sedikit perhatian pada soal-soal seperti tadi. Syukur-syukur kalau kalian mau sedikit mengulik beban berat BUMN ketika harus menjalankan perintah demi citra molek penguasa.

BERITA TERKAIT

Ekspor Nonmigas Primadona

Oleh: Zulkifli Hasan Menteri Perdagangan Neraca perdagangan Indonesia kembali mencatatkan surplus pada periode Februari 2024 sebesar USD0,87 miliar. Surplus ini…

Jaga Kondusivitas, Tempuh Jalur Hukum

  Oleh: Rama Satria Pengamat Kebijakan Publik Situasi di masyarakat saat ini relatif kondusif pasca penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Perspektif UMKM di Ramadhan

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Memasuki pertengahan bulan suci Ramadhan seperti ini ada dua arus perspektif yang menjadi fenomena…

BERITA LAINNYA DI

Ekspor Nonmigas Primadona

Oleh: Zulkifli Hasan Menteri Perdagangan Neraca perdagangan Indonesia kembali mencatatkan surplus pada periode Februari 2024 sebesar USD0,87 miliar. Surplus ini…

Jaga Kondusivitas, Tempuh Jalur Hukum

  Oleh: Rama Satria Pengamat Kebijakan Publik Situasi di masyarakat saat ini relatif kondusif pasca penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Perspektif UMKM di Ramadhan

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Memasuki pertengahan bulan suci Ramadhan seperti ini ada dua arus perspektif yang menjadi fenomena…