Dilema Defisit Perdagangan

Data BPS mencatat neraca transaksi perdagangan Indonesia (NPI) pada akhir Desember 2018 defisit US$8 miliar lebih, kontras dengan periode akhir 2017 yang mencapai surplus sekitar US$11 miliar. Ini setidak menjadi warning bagi kita semua. Pasalnya, kondisi ekonomi global dan internal dalam negeri sama-sama kurang menggembirakan. Sebelumnya data BPS juga mengungkapkan, terjadi defisit neraca perdagangan hingga US$4,0 miliar lebih, yang merupakan pertanda tren impor lebih deras ketimbang ekspor produk Indonesia ke luar negeri. 

Sedangkan dari sisi ekspor, BPS mencatat nilai ekspor Indonesia pada Desember 2018 secara bulanan turun tipis 3,14% menjadi sebesar US$14,10 miliar dibanding September 2018 yang mencapai US$14,53 miliar. Ekspor nonmigas secara bulanan turun 3,96%, sementara ekspor migas naik 5,08%.

Untuk jenis produk selama periode Desember 2018 dibandingkan dengan September 2018, ekspor komoditas yang mencatat penurunan ada di sektor alas kaki sebesar 18,19%, bahan bakar mineral 3,93%, besi dan baja 19,17%, dan pakaian jadi bukan rajutan 12,91%. Secara keseluruhan, penurunan terbesar disumbang oleh ekspor mesin dan peralatan listrik yang ekspor tercatat melemah US$ 86,6 juta. Padahal ekspor nonmigas menyumbang 90,10% dari total ekspor September 2018.

Berdasarkan sektor, ekspor nonmigas yang mencatat penurunan antara lain terjadi di sektor pertanian yakni 8,81% atau US$240 juta serta pertambangan juga turun 3,74% atau US$2,27 miliar. Penurunan pada sektor industri pengolahan sebesar 3,89% turut menyebabkan total ekspor Indonesia turun US$10,20 miliar.

Menurut negara tujuan, pangsa ekspor tidak banyak berubah. Ekspor masih terfokus pada tiga negara tujuan utama yang didominasi oleh Tiongkok sebesar 15,36% atau US$ 3,98 miliar, Amerika Serikat 10,91% atau US$ 2,83 miliar, dan Jepang 10,22% atau US$ 2,65 miliar. Tampaknya kita  masih terpaku pada negara tradisional, sehingga wajar jika saatnya perlu memperluas pasar ekspor ke negara non tradisional dan mengembangkan diversifikasi komoditas ekspor.

Penurunan neraca ekspor juga diimbangi oleh penurunan impor sebesar 7,16% menjadi sebesar US$14,21 miliar pada Desember 2018 dibandingkan dengan November 2018. Penurunan impor terjadi karena komoditas nonmigas berkurang sebesar sebesar 8,41%. Impor nonmigas mencapai US$11,9 miliar, turun dibandingkan Januari 2018 dari US$13,0 miliar. Sementara, impor migas sebesar US$2,26 miliar, naik 0,06% secara bulanan dari US$2,25 miliar.

Menurut penggunaan barang secara bulanan, nilai impor Indonesia untuk bahan baku atau penolong turun 7,74% dan barang modal turun 9,19%. Meski yang juga menjadi catatan, impor barang konsumsi meningkat 1,36%. Tentu akan berkontribusi perkembangan ekonomi.

Sinyal defisit berkelanjutan itu disampaikan langsung oleh Kepala BPS Kecuk Suhariyanto. Dia mengatakan pengaruh defisit neraca perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi semakin akut jika neraca perdagangan bulan Maret 2018 nanti tidak kunjung surplus.

Karena itu dibutuhkan kinerja ekspor dan surplus yang baik agar pertumbuhan ekonomi kuartal I-2018 bisa membaik. Sebab, ekspor netto merupakan salah satu komponen pembentuk pertumbuhan ekonomi selain konsumsi rumah tangga, belanja pemerintah, dan investasi.

Menurut Direktur Core Indonesia M. Faisal, kendati beberapa bulan ke depan neraca perdagangan kita kembali berpotensi surplus, struktur neraca berdagangan masih sangat rentan, karena peran ekspor manufaktur kita masih tergolong lemah. Hal ini juga diakui Menko Perekonomian Darmin Nasution, bahwa ekspor bulan ke bulan memang cenderung melambat. “ Ini yang tidak bagus,” ujarnya.

Nah, untuk memaksimalkan kinerja ekspor, Kementerian Perdagangan sudah menyiapkan empat strategi untuk mendorong target pertumbuhan ekspor tahun ini yang dipatok sebesar 11%. Target tersebut diutarakan sekaligus menjawab teguran Presiden Jokowi kepada Kemendag terhadap kinerja ekspor Indonesia yang monoton.

Strategi pertama yang akan dilakukan guna menggenjot ekspor adalah lewat upaya menyelesaikan perjanjian dagang. Hingga saat ini, Kemendag mencatat sekitar 17 perundingan perjanjian perdagangan Internasional yang akan diselesaikan, seperti Australia, European Free Trade Association (EFTA), Iran, Uni Eropa, dan Regional Comprehensive Economics Partnership (RCEP).

Tidak hanya itu. Strategi misi perdagangan juga perlu dibarengi dengan inovasi dalam perdagangan. Misalnya dengan upaya barter atau counter-trade antara lain untuk produk komoditas unggulan seperti minyak kelapa sawit (CPO) ditukar dengan komoditas yang Indonesia butuhkan. Dengan begitu, pasar non tradisional yang mengalami kesulitan devisa bisa melakukan perdagangan meski mengalami kesulitan pembayaran.

BERITA TERKAIT

Laju Pertumbuhan Kian Pesat

  Pertumbuhan ekonomi sebagai sebuah proses peningkatan output dari waktu ke waktu menjadi indikator penting untuk mengukur keberhasilan pembangunan suatu…

Kredibilitas RI

Pemilu Presiden 2024 telah berlangsung secara damai, dan menjadi tonggak penting yang tidak boleh diabaikan. Meski ada suara kecurangan dalam…

Pangan Strategis

Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Laju Pertumbuhan Kian Pesat

  Pertumbuhan ekonomi sebagai sebuah proses peningkatan output dari waktu ke waktu menjadi indikator penting untuk mengukur keberhasilan pembangunan suatu…

Kredibilitas RI

Pemilu Presiden 2024 telah berlangsung secara damai, dan menjadi tonggak penting yang tidak boleh diabaikan. Meski ada suara kecurangan dalam…

Pangan Strategis

Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak…