Memasuki era ekonomi digital adalah suatu keniscayaan zaman. Suka tidak suka, mau tidak mau, kondisi dunia memang sedang mengarah kesana. Tinggal pilihan kita, mau ikut atau tertinggal. Itulah pilihan masa depan. Begitulah kenyataannya. 

Nah, ingin menjadi “unicorn” (startup yang nilai asetnya di atas US$1 milliar) atau bahkan “decacorn” (startup senilai investasi di atas US$10 miliar) adalah memang mimpi semua pegiat perusahaan pemula startup. 

Hanya sekarang persoalannya, siapkah kita berada di era tersebut? Jika kita memang sudah siap, maka kita tidak perlu defensif jika presiden atau siapapun juga membahas tentang topik ini. Ini kenyataan hidup. Jika ingin maju dan tetap _survive, kita harus tahu apa itu ekonomi digital dan bagaimana menghadapinya secara rasional dan terukur. 

Revolusi Industri 4.0 mencakup perubahan aktifitas perekonomian yang terjadi secepat saat ini, di mana model ekonomi konvensional yang kita kenal sudah berganti ke platform digital. Contohnya, orang tidak perlu lagi pergi ke pasar hanya untuk beli beras atau pergi ke pangkalan  untuk cari ojek, tapi cukup dengan klik lewat  gadget, semua kebutuhan mereka terlayani dengan cepat dan efisien. 

Menarik sekali mempelajari bagaimana pasar bisa berubah. Pengusaha hotel di destinasi wisata yang biasa berhubungan dengan wisatawan global pasti sangat paham. Bayangkan, 30 tahun yang lalu, wisatawan harus order langsung pesan hotel. Zaman sekarang sudah berubah total, dari tradisi “pesan ke satu hotel“ ke tradisi “online” dimana banyak pilihan hotel yang disukainya. 

Sebaliknya pihak hotel, sekarang bisa mendapatkan banyak order dari mancanegara dan tidak lagi menunggu order secara individual. Bahkan, pihak hotel dapat menawarkan berbagai pilihan wisata yang termasuk dalam grup usahanya. Sehingga kemudian muncul banyak OKB (Orang Kaya Baru) dari bisnis startup ini.

Kehadiran “One Stop shopping” seperti ini memang mengancam pengusaha hotel kecil yang hanya mampu menyediakan satu atau beberapa jenis layanan tertentu saja. Apalagi ditambah lagi adanya kompetitor dari “online shop”yang memberi kemudahan orang untuk memilih dan berbelanja produk lainnya, maka semakin terpuruklah para pengusaha konvensional tersebut. Inilah dinamika perubahan dan kompetisi pasar terjadi saat ini. 

Di sisi lain, yang lebih gesit bisa menangkap peluang ekonomi digital adalah anak-anak muda dibawah usia 40 tahun. Perubahan menurut mereka ukurannya bukan lagi bulan ataupun tahun, tetapi hari, menit bahkan detik. 

Bayangkan saja, perusahaan startup dimana pemilik dan stafnya semua anak-anak muda di bawah 40 tahun. Tetapi mereka sudah punya loyal customer sekitar 2 juta orang. Dan nilai 2 juta orang itu mereka dapatkan kurang dari 3 tahun! 

Perusahaan startup memang sangat menjanjikan seseorang sukses dengan cepat. Mereka tidak perlu melalui tangga karir untuk menjadi seorang milliunner. Namun, perusahaan startup juga sangat rentan untuk ambruk jika tidak memiliki value dan integritas yang baik. Karena “Marketplace” berbeda dengan profil pasar biasa. Para investor mau mengucurkan dana untuk sebuah startup hanya dengan melihat “potensi” dari startup tersebut 10 atau 20 tahun yang akan datang. 

Karena itu tidak heran jika banyak startup yang sekarang sebenarnya masih merugi dalam operasionalnya, tetapi mereka memiliki valuasi yang sangat tinggi, sampai jutaan bahkan milliaran dollar. Lihat saja berapa sebenarnya keuntungan rill yang dimiliki olee empat unicorn  Indonesia saat ini: Traveloka, Tokopedia, Gojek, dan Bukalapak. Jadi, apabila tidak ada lagi kepercayaan konsumen  terhadap suatu startup, maka potensi value akan hilang. Waspadalah!