PEMERINTAH DIMINTA KAJI MENDALAM KENAIKAN TARIF OJOL - Ekonom UI: Berpotensi Turunkan Daya Beli Publik

Jakarta- Pemerintah diminta tidak boleh asal menetapkan tarif ojek online (ojol) dan harus ditentukan berdasarkan hasil kajian yang solid. Sebab, hal ini akan mempengaruhi daya beli masyarakat, yang juga akan berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi. "Tarif naik tidak masalah, asalkan sudah dikaji," ujar Fithra Faisal, ekonom UI di Jakarta, Senin (11/2).

NERACA

Menurut Fithra, saat ini ada kecenderungan tarif ojol akan naik 100%. Artinya tarif tersebut naik dua kali lipat dibanding sebelumnya. Karena itu, sebelum menetapkan besaran tarif, pemerintah diminta untuk memperhatikan kemampuan daya beli masyarakat terutama pengguna ojol yang mayoritas merupakan masyarakat dengan kelompok pendapatan menengah ke bawah.

"Ini kan potensi kenaikkan tarifnya bisa sampai 100%, padahal kita harus kemudian pada awalnya menduga kemampuan membayar konsumen itu di level apa sih. Nah itu harus ditentukan dulu dan berdasarkan kajian yang solid," tuturnya.

Menurut dia, saat ini pemerintah belum melakukan kajian mengenai hal tersebut. "Sementara ini kan kalau kita lihat yang ini potensi kenaikannya sepertinya tidak ada riset terlebih dahulu," ujarnya.

Fithra mengatakan, rencana pemerintah untuk menaikkan tarif tarif ojek online (ojol) akan menjadi polemik dan menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat. Sebab, 50% konsumen ojol merupakan masyarakat yang berpendapatan menengah ke bawah.

"Ada 50 persen dari pengguna ojol cenderung memiliki upah bulanan antara Rp 2 juta hingga Rp 3 juta, maka ini termasuk 40% pendapatan menengah ke bawah. Sehingga polemik, dan 40% daya beli masyarakat tersebut akan mengalami penurunan," ujarnya.

Fithra juga mengatakan konsumen akan merasa tidak nyaman dengan kenaikan harga ojek online tersebut. Peningkatan tarif sedikit saja akan membuat konsumen berpikir kembali untuk menggunakan ojol. "Konsumen menjadi sensitif dan tidak nyaman dengan tarif ojol ini. Peningkatan harga sedikit saja, 40% konsumen ini akan melakukan rasionalisasi pengeluaran," kata Fithra.

Selain itu, di sektor UMKM yang saat ini banyak mengandalkan ojol akan memiliki kecenderungan mengurangi aktivitasnya. Tentunya ini akan berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi Indonesia, mengingat, 56 persen dari pertumbuhan ekonomi berasal dari konsumsi.

Sebelumnya, diketahui rencana pemerintah menaikkan tarif ojek online diprediksi akan banyak memiliki dampak negatif ketimbang positif. Hal ini akan menimbulkan shock terhadap konsumsi tersebut dan diduga akan berpotensi menurunkan ekonomi untuk ke depannya

Berdasarkan survei yang dilakukan Research Institute of Socio-Economic Development (RISED), permintaan konsumen akan turun dengan drastis sehingga menurunkan pendapatan pengemudi ojol, bahkan meningkatkan frekuensi masyarakat menggunakan kendaraan pribadi dalam beraktivitas sehari-hari sehingga dapat menambah kemacetan.

Ketua Tim Peneliti RISED Rumayya Batubara mengatakan,  konsumen sangat sensitif terhadap segala kemungkinan peningkatan tarif. Hal ini terlihat dalam hasil survei. "Kenaikan tarif ojek online berpotensi menurunkan permintaan konsumen hingga 71,12%,” ujarnya.

Survei dengan 2.001 responden konsumen ojol yang tersebar di 10 provinsi tersebut juga memperlihatkan hasil 45,83% menyatakan tarif ojol yang ada saat ini sudah sesuai. "Bahkan 28% responden lainnya mengaku bahwa tarif ojol saat ini sudah mahal dan sangat mahal," ujarnya.

Jika memang ada kenaikan, sebanyak 48,13% responden hanya mau mengeluarkan biaya tambahan kurang dari Rp 5.000 per hari. "Ada juga sebanyak 23% responden yang tidak ingin mengeluarkan biaya tambahan sama sekali," ujarnya seperti dikutip merdeka.com.

Dia mengungkapkan, survei tersebut juga mencatat jarak tempuh rata-rata konsumen adalah 8,8 Km per hari. Dengan jarak tempuh sejauh itu, apabila terjadi kenaikan tarif dari Rp 2.200/Km menjadi Rp 3.100/Km (atau sebesar Rp 900/Km), maka pengeluaran konsumen akan bertambah sebesar Rp 7.920/hari.

"Bertambahnya pengeluaran untuk ojek online sebesar itu akan ditolak oleh kelompok konsumen yang tidak mau mengeluarkan biaya tambahan sama sekali. Dan yang hanya ingin mengeluarkan biaya tambahan kurang dan Rp 5.000/hari. Total persentasenya mencapai 71,12%," ujarnya.

Terlalu Tinggi

Sebelumnya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai bahwa skema tarif batas bawah Rp 3.100 per km  dalam aturan ojek daring atau ojek online yang baru yang disiapkan pemerintah terlalu tinggi. Ini berisiko mengalami penurunan order signifikan bagi mitra pengemudi bila skema itu tetap diterapkan. "Itu terlalu tinggi. Risiko bagi driver adalah ditinggalkan konsumen karena kenaikan (tarif) terlalu tinggi," ujar Ketua Harian YLKI Tulus Abadi seperti dikutip dari Antara, pekan lalu.

Kementerian Perhubungan memang tengah menggodok aturan ojek daring yang ditargetkan selesai pada Maret 2019. Salah satu fokusnya adalah soal tarif yang diatur berdasarkan batas atas dan bawah agar mitra pengemudi memiliki pendapatan lebih baik lagi.

Beredar kabar besaran tarif batas atas dan bawah tersebut telah dipatok Rp 3.100- Rp 3.500 per km atas usulan Tim 10. Selama ini, aplikator Grab menerapkan tarif batas bawah ojek daring sebesar Rp 1.200 per kilometer, adapun Go-Jek memberikan Rp 1.600 untuk mitra pengemudi.

YLKI khawatir rencana kenaikan tarif batas bawah dan atas ojek daring justru menjadi bumerang bagi mitra pengemudi, seperti halnya kenaikan tarif pada pesawat terbang. Konsumen yang merasa diperas akibat tarif mahal akan memilih moda transportasi alternatif yang memiliki tarif lebih murah. "Karena kenaikan terlalu tinggi, nanti malah ojek daring bernasib sama seperti pesawat terbang, penumpangnya turun drastis," ujar Tulus.

Seharusnya, pemerintah melibatkan aplikator untuk membuat simulasi penarifan sebelum menetapkan tarif batas bawah dan atas. Aplikator perlu terlibat agar semua bisa mengetahui biaya produksi sebenarnya seperti apa. "Saya rasa belum ada simulasi untuk menentukan standar cost production (biaya produksi). Mungkin pemerintah feeling saja untuk menentukan besarannya, karena angkanya didikte oleh pihak berkepentingan," tutur dia.

Tulus menjelaskan, urusan pengaturan tarif ojek daring memang merupakan persoalan dilematis. Sebab, ojek daring tidak termasuk sebagai angkutan umum. Dengan demikian, skema tarifnya semestinya tidak bisa diatur pemerintah. bari/mohar/fba

 

 

BERITA TERKAIT

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…