Tarif Tol Kemahalan, Kenapa?

Pembangunan jalan tol pada hakikatnya untuk memudahkan mobilisasi barang dan orang dari satu kota ke kota lain di seluruh negeri ini. Namun tujuan baik negara itu terkendala karena infrastruktur tersebut dinilai kurang memperhatikan aspek sosial ekonomi warga,  sehingga terkesan lebih mementingkan motif profit dari pengelola jalan bebas hambatan. Itulah realitas Indonesia sejak pertama kali memiliki jalan tol selalu dikeluhkan masyarakat, baik dari sisi tarif yang mahal hingga mematikan usaha kecil dan menengah daerah yang dilalui jalan tol.

Tentu kita masih ingat saat tol Cikampek, Purwakarta dan Padalarang (Cipularang) dibangun, semua mata penuh harap akan mendapat dampak positif dari pembangunan tol tersebut. Ternyata, memang sebagian kecil masyarakat menerima dampak positif dari pembangunan tol Cipularang tersebut seperti para pedagang kaki lima, usaha kecil dan menengah, pengusaha pompa bensin, kuliner, hingga unit usaha lainnya yang ditampung di sejumlah rest area.

Namun, lebih banyak lagi unit bisnis yang tidak tertampung, bahkan harus mati dan lebih parah lagi meninggalkan beban utang yang tak sanggup dibayar. Seperti pompa bensin, restoran, hotel di sepanjang Padalarang, Purwakarta, hingga Cianjur mati berguguran. Usaha rakyat yang mencapai ratusan miliar itu mati lantaran pengguna kendaraan tidak lagi melewati tempat mereka berbisnis, pengendara lebih memilih jalan tol untuk sampai ke Bandung, Cimahi, Garut hingga Jawa Tengah.

Jelas, bahwa maraknya pembangunan jalan tol selama ini tidak diiringi rekayasa sosial ekonomi masyarakat sekitar yang dilalui jalan tol. Paling tidak dampak ekonomi seharusnya lebih banyak untuk masyarakat sekitarnya yang terkena dampak pembangunan jalan tol.

Kini, setelah infrastruktur jalan tol selesai dari Merak hingga Surabaya yang dikenal dengan nama Tol Trans Jawa, telah membuat sejumlah pengemudi truk berkeluh kesah. Seorang supir truk yang melintas dari Merak hingga ke Surabaya menceritakan, bahwa dia perlu mengantungi biaya tol hingga Rp750.000 untuk satu kali perjalanan. Bahkan kalau harus melintas hingga melewati Tol Trans Sumatera, maka sudah dapat dipastikan ongkos tol yang harus disiapkan bisa di atas Rp1 juta. Itu pun belum termasuk bensin, uang makan, dan lain-lain biaya tak terduga di jalan. Praktis, seorang sopir truk lintas Jawa-Sumatera menyiapkan ongkos minimal Rp2 juta satu kali perjalanan.

Hal ini tentu saja akan merugikan pengusaha dan sopir angkutan truk yang menggunakan jasa tol setiap harinya. Itu sebabnya banyak pengemudi truk memilih jalur arteri untuk menghindari mahalnya jalan Tol Trans Jawa dan Tol Trans Sumatera.

Meskipun harus melewati jalan yang rusak berat di jalur arteri, sopir truk merasa lebih nyaman. Suasana nyaman, memudahkan, dan meningkatkan pelayanan masyarakat. Jalan tol berubah jadi arena komersial yang memaksa pengendara merogoh kocek lumayan mahal. Itu sebabnya, para sopir yang bekerja dengan Agus sejak Januari 2019 lebih memilih jalan arteri meski sampai ke tujuan agak lama.

Menurut pengamat infrastruktur Bambang Susanto Priyohadi, gencarnya pembangunan infrastruktur jalan tol yang dilakukan pemerintah saat ini hanya untuk kebutuhan sesaat. Menurut dia, pembangunan jalan tol seharusnya melihat pada kebutuhan jangka panjang.

Dia mencontohkan jalan tol dari Jakarta ke Cirebon, Semarang, dan Surabaya. Tidak terlihat jalan tol yang ramai dilintasi kendaraan. Bambang menyebutkan, jika dihitung dalam setahun, bisa dikatakan penggunaan jalan tol tidak lebih dari 15 hari. Selain itu, pembangunan jalan tol juga tidak direncanakan dengan baik. Misalnya jalan tol layang yang sekarang sedang dikerjakan dari Jakarta ke Karawang. Anggaran yang dikucurkan untuk tol tersebut terbilang mahal dibanding untuk membangun jalan biasa.

Lihat saja pembangunan Jalan Tol Layang Jakarta-Cikampek II diperkirakan menelan investasi Rp16 triliun. Lantas berapa lama tingkat pengembalian investasinya jika tarifnya murah? Jika demikian halnya, maka Pemerintah gagal mencapai target untuk memudahkan masyarakat untuk melintasi seluruh jalur Trans Jawa, plus Trans Sumatera, karena kantung masyarakat tidak cukup kuat untuk membayar tarif tol semahal itu.

Ingat, bahwa kebanyakan orang yang berduit saat ini cenderung memilih naik pewasat udara demi menghemat waktu tempuh walau biayanya sedikit lebih mahal. Itu sebabnya pemerintah perlu mengkaji ulang tarif tol yang mahalnya mendekati tarif pesawat terbang. Jangan sampai pengelola tol akhirnya bangkrut akibat tingginya biaya investasi, sementara minim kendaraan yang masuk tol setelah pembangunan selesai nanti pada waktunya.

BERITA TERKAIT

Kredibilitas RI

Pemilu Presiden 2024 telah berlangsung secara damai, dan menjadi tonggak penting yang tidak boleh diabaikan. Meski ada suara kecurangan dalam…

Pangan Strategis

Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak…

Kedewasaan Berdemokrasi

Masyarakat dan segenap elemen bangsa Indonesia saatnya harus menunjukkan sikap kedewasaan dalam menjunjung tinggi asas serta nilai dalam berdemokrasi di…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Kredibilitas RI

Pemilu Presiden 2024 telah berlangsung secara damai, dan menjadi tonggak penting yang tidak boleh diabaikan. Meski ada suara kecurangan dalam…

Pangan Strategis

Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak…

Kedewasaan Berdemokrasi

Masyarakat dan segenap elemen bangsa Indonesia saatnya harus menunjukkan sikap kedewasaan dalam menjunjung tinggi asas serta nilai dalam berdemokrasi di…