Ketika Rakyat Sekadar Tumbal

 

Oleh: Gigin Praginanto

Antropolog Ekonomi Politik

Perekonomian nasional itu ibarat sepeda. Harus selalu dikayuh agar bergerak dan tidak jatuh. Idealnya tentu saja dikayuh dengan kaki sendiri,  bukan dengan mesin yang masih harus diimpor atah mengadung banyak komponen impor.

Sekarang ini sudah sangat banyak gerakan ekonomi nasional ditunjang oleh impor. Maka keinginan Berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) , yang pernahdigelorakan oleh Bung Karno,  ibarat 'panggang yang menjauh dari api'. Kritik pun seperti masuk telinga kiri keluar telinga kanan.

Data di BPS membuktikan,  makin dikritik  impor kian menggila. Akibatnya defisit neraca pembayaran membengkak tiada henti, membuat BI terpaksa menaikkan suku bunga berkalu-kali. Kini bahkan sebagian besar bahan baku utama tahu dan tempe, yang selalu dibanggakan makanan rakyat, juga diimpor.

Maka tak aneh bila swasembada alias kemandirian pangan hanya terdengar hebat dalam pidato orang-orang besar. Sementara itu para petani selalu gelisah karena takut produknya dibantai barang impor agar harga selalu murah.

Kini impor seperti  Narkoba, yang bisa membuat siapa saja ketagihan dan selalu punya alasan untuk melakukannya.  Contohnya di sektor pangan dimana  dalam situasi surplus maupun minus Indonesia tetap impor, dan pemerintah selalu punya alasan untuk melakukannya.  Antara lain distribusi yang tidak merata,  dan demi memenuhi kebutuhan masyarakat.

Lihat saja kasus jagung dan daging. Meski tahun lalu mengalami surplus produksi jagung sebesar 12,98 juta ton, pemerintah tetap memutuskan untuk impor 100 ribu ton karena, katanya,  ada masalah dengan distribusi. Tahun ini, menurut Badan Ketahanan Pangan Kementan,  pemerintah berencana mengimpor 256 ribu ton daging sapi untuk menutup kekurangan produksi nasional yang diperkirakan hanya akan mencapai 429 ribu ton.

Akibat dari napsu besar belanja di luar negeri ini tampak pada Juli tahun lalu, dimana impor mencapai 18,27 miliar dollar atau tertinggi sejak 2008. Sementara itu defisit neraca perdagangan terus menanjak.  Pada November tahun lalu,  defisit ini mencapai US$ 2,05.

Sialnya agj,  pemborosan tampaknya makin sulit dikendalikan. Salah satunya membuat Wapres Jusuf Kalla gusar secara terbuka karena pembangunan jalur kereta ringan LRT di Jabodetabek menelan Rp 500 miliar per kilometernya. Kalla juga berang karena jalur kereta ini tak dibangun untuk melayani daerah yang tak terjangkau jalan tol. Jalur ini dibangun di pinggir jalan tol.

Pemborosan semacam itu memang sulit dihindari karena kebanyakan direalisasikan lewat sistem tunjuk langsung,  bukan tender terbuka. Anggarannya pun dibuat asal jadi sehingga negosiasi biaya bisa terjadi kapan saja di tengah proses pembangunan.

Kekonyolan semacam ini juga terjadi dalam proses pembangunan LRT Jabodetabek. PT  Adhi karya sebagai kontraktor utamanya, telah beberapa kali minta tambahan dana karena kehabisan dana.

Keamburadulan juga tampak pada kasus jalan Trans Papua, yang tahun lalu menghebohkan karena diselesaikan dalam waktu cepat. Kini jalan yang pernah diekspos secara besar-besaran itu telah kembali ke asal,  menjadi kubangan lumpur.

Sistem ugal-ugalan tersebut juga telah membuat manajemen BUMN menjadi sasaran empuk koruptor . Salah satunya tengah dibongkar KPK dimana para koruptor di PT Waskita Karya membobol 186  miliar rupiah (angka sementara BPK) dengan membuat 14 proyek fiktif. Semua. Ini terkait dengan proyek tanpa tender. Di antaranya Bandara Kualanamu,  jalan layang non tol Antasari di Jakarta, dan proyek Tol Nusa Dua-Ngurah Rai-Benoa Paket 2 di Bali.

Tak mustahil bila kasus di atas ibarat puncak gunung es mengingat kini BUMN mendominasi pembangunan infrastruktur. Bukankah sudah lama beredar bahwa proyek fiktif adalah satu income haram para pencoleng di lingkungan BUMN.  Sedangkan harapan terbesar untuk membongkarnya tentu saja audit investigasi oleh lembaga independen dengan reputasi terbaik.

Perang melawan pemborosan adalah sebuah keharusan,  apalagi pemerintah berkeinginan memperbesar peran swasta dalam pembangunan.  Tanpa keseriusan mustahil investasi swasta,  yang belakangan ini merosot,  bisa pulih.

Data BKPM menunjukkan,  realisasi investasi periode Januari-September 2018 naik 4,3 persen dari Rp 513,2 triliun pada periode yang sama tahun 2017,  menjadi Rp 535,4 triliun. Namun dilihat per kuartal,  nilainya turun.  Pada Juli-September 2018,  realisasi investasi turun 1,6% dari Rp 176,6 triliun pada kuartal yang sama tahun 2017, menjadi Rp 173,8 triliun.

Para investor jelas tak mau ikut ugal-ugalan dengan menebar investasi di Indonesia. Mereka paham betul bahwa di balik gencarnya pembangunan infrastukur terdapat ancaman ekonomi yang cukup serius.  Yaitu ekonomi gelembung akibat utang berlebihan,  lenyapnya triliunan rupiah negara akibat pemborosan,  dan macetnya fungsi perbankan karena BI terus menaikkan suku bunga.

Bagi kaum elit ekonomi mungkin tak menjadi masalah serius.  Ini terbukti dari malapetaka ekonomi 1998, dimana kaum kaya tetap kaya dan menguasai daftar orang terkaya Indonesia sampai sekarang. Mereka bisa cepat pulih berkat hubungan spesial dengan industrialis dan penguasa pasar uang global. Para penguasa bisnis global ini suka melakukan ekspansi bisnis di seluruh dunia dengan menjadikan konglomerat lokal sebagai kakitangan.

Jadi tak aneh bila oligark yang dilahirkan dan dibesarkan oleh Orba masih menguasai kendali bisnis di Indonesia. Apalagi mereka juga paham betul betul bagaimana berkongkalikong dengan para politisi dan birokrat papan atas baik di pusat maupun daerah.

Ketika perekonomian nasional sedang gonjang-ganjing,  para pembesar bisnis tersebut bisa memperlakukan rakyat sebagai pembonceng gelap di sepeda mereka. Lantaran tak berdaya secara ekonomi dan politik,  karena dianggap sebagai beban terlalu berat,  rakyat pun diturunkan dimana saja sehingga terlunta-lunta.

Kaum jelata ini baru diizinkan kembali membonceng ketika keperkasaan pengemudi sepeda  pulih. Dan mereka harus kembali siap diturunkan ketika dianggap sebagai beban.

 

BERITA TERKAIT

Ekspor Nonmigas Primadona

Oleh: Zulkifli Hasan Menteri Perdagangan Neraca perdagangan Indonesia kembali mencatatkan surplus pada periode Februari 2024 sebesar USD0,87 miliar. Surplus ini…

Jaga Kondusivitas, Tempuh Jalur Hukum

  Oleh: Rama Satria Pengamat Kebijakan Publik Situasi di masyarakat saat ini relatif kondusif pasca penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Perspektif UMKM di Ramadhan

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Memasuki pertengahan bulan suci Ramadhan seperti ini ada dua arus perspektif yang menjadi fenomena…

BERITA LAINNYA DI

Ekspor Nonmigas Primadona

Oleh: Zulkifli Hasan Menteri Perdagangan Neraca perdagangan Indonesia kembali mencatatkan surplus pada periode Februari 2024 sebesar USD0,87 miliar. Surplus ini…

Jaga Kondusivitas, Tempuh Jalur Hukum

  Oleh: Rama Satria Pengamat Kebijakan Publik Situasi di masyarakat saat ini relatif kondusif pasca penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Perspektif UMKM di Ramadhan

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Memasuki pertengahan bulan suci Ramadhan seperti ini ada dua arus perspektif yang menjadi fenomena…