WASPADAI HARGA KOMODITAS UTAMA BAKAL MEROSOT - Dampak Perang Dagang AS-China Masih Berlanjut

Jakarta-Peneliti Indef mengingatkan, dampak perang dagang antara Amerika Serikat dan China diprediksi masih terus berlanjut dan membayangi kinerja sektor perdagangan dunia dan dalam negeri pada 2019. Meski begitu, efek negatif perang dagang diharapkan bisa sedikit diredam, salah satunya dengan mendiversifikasi negara tujuan ekspor serta mulai melakukan perpindahan produk ekspor dari semua berbasis komoditas mentah ke komoditas berbasis manufaktur.

NERACA

“Efek perang dagang membuat laju pertumbuhan ekonomi global tertekan. AS sudah menunjukkan perlambatan ekonomi, China juga diproyeksi tumbuh dibawah 6.5% tahun depan. Bagi negara pemasok bahan baku seperti indonesia efeknya cukup terasa ke pelebaran defisit perdagangan. Harga komoditas baik minyak, batubara, karet dan sawit tahun depan bisa lebih anjlok,” ujar Bhima Yudhistira, peneliti Indef, ketika dihubungi Neraca di Jakarta, Selasa (01/1/19).

Menurut dia, China akan mencari pasar alternatif. Indonesia tahun depan makin dibanjiri produk China yang tidak laku di pasar AS. Diperkirakan e-commerce akan diserbu barang impor, proyek infrastruktur besi baja dari China, sehingga berpotensi mematikan produsen lokal. Tidak hanya itu, nilai tukar rupiah diperkirakan semakin terpuruk kembali mendekati level Rp 15.000 per US$ sehingga membuat sejumlah investor PMA menunda investasinya masuk ke Indonesia.

Meski demikian, menurut dia, sektor perdagangan masih memiliki celah untuk mencatat pertumbuhan, meski tak sedikit pula kendala yang dihadapi. Misalnya, harga komoditas minyak mentah dunia yang cenderung melambat di kisaran US$ 60 - US$ 65 per barel akibat over supply di AS. Penurunan harga minyak dunia menjadi acuan harga komoditas lainnya hingga harganya ikut melambat.

Selain itu, perang dagang yang ikut mempengaruhi pertumbuhan ekonomian AS dan Tiongkok, turut menyebabkan permintaan batubara Tiongkok menjadi tak setinggi 2018. Tantangan lain juga ada pada komoditas perkebunan andalan Indonesia seperti karet dan minyak sawit mentah (CPO) yang hingga saat ini pun masih dibayangi pelemahan harga. Sebab, turun naiknya harga dua komoditas perkebunan tergantung pada harga acuan minyakdunia.

Selain itu, menurut Bhima, untuk pasar utama tujuan dagang seperti Eropa, India dan Tiongkok, tidak bisa lagi diandalkan sebagai satu-satunya tumpuan ekspor. Karena seperti diketahui, panas-dingin hubungan dagang AS-China telah menyebabkan ekonomi negara tersebut melambat.

Sementara India diperkirakan masih akan mengenakan tarif yang tinggi terhadap impor CPO. Terlebih menjelang Pemilu, yang mana tarif impor sawit sepertinya tak akan dikurangi demi melindungi produksi minyak nabati negaranya yang saat ini terus dikembangkan.

Dengan berbagai hambatan ekspor baik dari eksternal maupun internal Indonesia, terlebih lagi jika impor masih tetap tinggi, maka pada 2019 Indonesia diperkirakan tetap masih akan mencetak defisit neraca perdagangan, meski nilainya diperkirakan mengecil. "Pada 2019, defisit neraca dagang kemungkinan akan berada di antara US$7 miliar-US$7,5 miliar. Jumlah itu diprediksi mengecil seiring harga komoditas dunia yang menurun," ujar Bhima.

Menyimak data Badan Pusat Statistik (BPS) periode Januari-November 2018, tercatat defisit neraca perdagangan Indonesia (NPI) telah mencapai US$7,5 miliar. Ini merupakan defisit ke delapan, sekaligus menjadi defisit terdalam selama sebelas bulan pertama 2018.

Defisit perdagangan November 2018 tersebut disebabkan oleh selisih impor yang lebih tinggi dibandingkan ekspor. Menurut BPS, ekspor periode November 2018 hanya sebesarUS$14,83 miliar, sedangkan realisasi impor tercatat lebih tinggi yakni sebesar US$16,88 miliar.

Walau menghadapi sejumlah tekanan, harapan peningkatan ekspor dan mengurangi defisit neraca dagang tetap ada. Misalnya, terkait upaya pemerintah meningkatkan permintaan CPO dalam negeri melalui kebijakan pencampuran 20% minyak nabati ke dalam bahan bakar diesel atau mandatori B20, diharapkan bisa ikut memperbaiki harga jual CPO karena serapan domestik meningkat.

"Ekspor kemungkinan akan sedikit bergolak. Tapi kalau bisa memanfaatkan celah dan melakukan penetrasi ekspor ke pasar yang belum pernah dijangkau atau mendiversifikasi produk, gejolak itu mungkin bisa ditekan," tutur Bhima.

Dia mengapresiasi langkah pemerintah yang mulai meneken perjanjian dagang untuk meningkatkan ekspor ke negara alternatif. Pada pertengahan Desember, pemerintah Indonesia secara resmi menandatangani perjanjian dagang kemitraan komprehensif (CEPA) dengan Asosiasi Perdagangan Bebas Eropa (EFTA). Dengan kesepakatan itu, lebih dari enam ribu tarif bea masuk ke masing-masing negara EFTA, seperti Norwegia, Islandia, Swiss, dan Liechtenstein akan dihapus.

Selain melalui perjanjian dagang, pemerintah menurut dia, perlu juga menggencarkan pemasaran produk ekspor ke negara kawasan seperti Eropa Timur atau Timur Tengah untuk menggenjot ekspor. Dengan mendiversifikasi pasar dan produk ekspor ditambah dengan pemberian insentif, Bhima memprediksi ekspor 2019 bisa tumbuh 8%-9% dibanding target ekspor 2018 yang dipatok sebesar 11%.

Sementara itu, menghadapi situasi perdagangan dunia masih diselimuti ketidakpastian, pemerintah pun sudah mulai berancang -ancang mengantisipasi dampak tekanan ekonomi global terhadap defisit neraca perdagangan melalui startegi peningkatan ekspor produk jadi dalam jangka pendek seperti yang diputuskan Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) 20 Desember lalu.

Menurut Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan, pemerintah akan mulai selektif meninjau komoditas potensial berorientasi ekspor. "Arahnya itu otomotif dan tekstil, tetapi kami masih lihat lagi," ujarnya seperti dikutip Katadata.co.id, belum lama ini.

Strategi peningkatan ekspor produk jadi itu diterus diperkuat untuk mengantisipasi penurunan ekspor berbasis komoditas. Sebab, struktur ekspor Indonesia masih mengandalkan komoditas seperti minyak kelapa sawit dan batubara mulai rentan terpengaruh fluktuasi harga komoditas dunia dan menghadapi restriksi perdagangan internasional.

BPS juga mencatat, ekspor nonmigas Januari-November 2018 mencapai US$150,14 miliar. Sementara ekspor bahan bakar mineral sebesar US$22,5 miliar dengan porsi 15,05% dan ekspor lemak dan minyak nabati US$18,7 miliar dengan kontribusi 12,5%.

Menurut Ketua Komite Tetap Pengembangan Ekspor Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Handito Joewono, pengusaha telah menyusun pengembangan ekspor sejak 2016. Sehingga, harapannya pemerintah seharusnya bisa menyesuaikan rencana pengembangan itu dengan kebijakan yang tepat.

Dia juga mengatakan, industri otomotif dan tekstil sudah memiliki kapasitas untuk meningkatkan ekspor produk jadi. "Sekarang tergantung sikap pemerintah untuk memberikan insentif yang besar supaya industri memiliki kepastian produksi," ujarnya.

Lebih Kompetitif

Sementara itu, untuk mengoptimalkan ekspor tahun ini, Mendag Enggartiasto Lukita mengatakan pemerintah terus berupaya menyelesaikan perjanjian perdagangan masih tertunda untuk membuka pasar ekspor. Sebab, perjanjian perdagangan bakal memberi keuntungan berupa pembebasan pos tarif produk ekspor sehingga menjadikan produk dalam negeri menjadi lebih kompetitif.

Enggar juga mengatakan, setelah penyelesaian dengan European Free Trade Agreement (EFTA) dan Chile, pemerintah terus mengejar penandatanganan dengan Australia, Mozambique, Tunisia, dan Maroko. Kemudian, Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) dan Uni-Eropa juga ditargetkan selesai tahun depan.

RCEP merupakan perjanjian dagang antara 10 negara Asia Tenggara dengan India, Tiongkok, Korea Selatan, Jepang, Australia, dan Selandia Baru. "Itu 50% populasi dunia, menjembatani permasalahan antarnegara bukan hal yang mudah, kita terus upayakan," ujarnya. bari/mohar/fba

BERITA TERKAIT

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…