Bencana dan Wibawa Pemerintah

Menjelang akhir tahun 2018, Indonesia memasuki musim penghujan yang biasanya selalu dibarengi bencana banjir dan tanah longsor, yang menimbulkan dampak kerusakan dalam berbagai skala. Menurut data informasi bencana Indonesia (DIBI) BNPB, hingga Oktober 2018 terjadi 374 kali banjir dan 268 tanah longsor di berbagai tempat di negeri ini.

Bencana banjir dan tanah longsor umumnya terjadi bukan karena sebab alamiah, melainkan karena tangan manusia. Penebangan hutan secara liar (illegal logging) adalah penyebab utama. Hutan yang ada sudah tidak sanggup lagi menyerap air hujan dalam curah yang besar, sehingga meluncurkannya  ke sungai-sungai dan pada akhirnya banjir menyerang pemukiman penduduk.

Setiap tahun, Indonesia kehilangan hutan seluas 684.000 ha akibat pembalakan liar, kebakaran hutan, perambahan hutan dan alih fungsi hutan. Menurut data yang dirilis Badan Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) berdasarkan data dari Global Forest Resources Assessment (FRA), Indonesia menempati peringkat ke-2 dunia tertinggi kehilangan hutan setelah Brasil yang berada di urutan pertama. Setiap tahun perusakan hutan itu bertambah sekitar 2,1 ha.

Kita melihat aksi illegal logging di dalam negeri memang sudah keterlaluan. Indonesia menduduki peringkat ke-7 di dunia dalam bidang perdagangan kayu ilegal setelah Bolivia, Brasil, Kamboja, Kamerun, Kolombia dan Ghana.

Dampaknya tentu saja kerugian negara cukup besar. Menurut data Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian LHK, potensi kerugian negara akibat illegal logging mencapai Rp276,4 triliun.Lalu, apa arti itu semua bagi negeri ini? Artinya jelas, bahwa Undang-Undang tidak pernah punya kekuatan apa pun di mata para pencuri kayu. Ancaman hukuman 10 tahun penjara dan denda sebesar Rp5 miliar seperti diatur UU No 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, mereka anggap hanya angin lalu. Tidak sedikit pun mereka merasa takut ditindak aparat keamanan. Mengapa? Ya, karena aparat keamanan sendiri adalah bagian dari mereka, bagian dari mafia penggundul hutan. Kalau sekadar alpa mengawasi saja, kita masih bisa memaklumi. Tetapi, jika mereka ikut terlibat, lalu kepada siapa lagi negara ini menjaga keamanan diri sendiri?

Apa yang terjadi di Indonesia saat ini benar-benar telah menggambarkan kerusakan hutan yang luar biasa. Sedikit saja hujan turun, banjir langsung menyerbu, karena curah hujan tak lagi mampu diserap oleh hutan yang gundul. Begitu juga ketika musim kemarau dimulai, kekeringan langsung menggigit bumi. Karena sungai yang berhulu di hutan tidak lagi mempunyai sumber air.

Sudah menjadi rahasia umum betapa oknum-oknum aparat yang seharusnya menjaga negara ini dari kepunahan justru menjadi ujung tombak perusakan itu sendiri. Mereka menikmati keuntungan yang tidak sedikit dari kerusakan alam negerinya sendiri. Bahkan untuk itu mereka memilih berkelahi dengan rekan-rekannya yang mencoba hidup lurus ketika berusaha menghalangi.

Beberapa waktu lalu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) pernah meminta Presiden Jokowi agar mengevaluasi kinerja TNI dan Polri. Sebab ada dugaan oknum TNI dan Polri menjadi pelindung perusahaan-perusahaan perambah hutan.

Pasalnya, tingkat kerusakan hutan yang makin parah ini seharusnya menjadi rambu-rambu bagi siapa pun yang hendak menjadi pemimpin nasional.   Menjadi pemimpin nasional, tidak saja berhak atas segala penghormatan, tapi juga wajib mewarisi segala sumber bencana. Para calon pemimpin yang sekarang tengah berebut tampuk kepemimpinan nasional, setidaknya harus menyatakan komitmen sanggup memerangi penjarahan kekayaan alam Indonesia seperti itu.

Presiden Jokowi berkali-kali menegaskan, tidak akan berkompromi dengan praktek pembalakan liar yang menyebabkan kerusakan lingkungan yang luar biasa. Presiden sudah menyampaikan informasi itu kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya dan Kapolda Jambi Irjen Pol Muchlis As, namun pengaduannya tidak ditanggapi. Mendengar itu, Presiden langsung memerintahkan Kapolda Jambi untuk menindaklanjuti pengaduan tersebut.

Kita pasti mendukung langkah Presiden untuk bertindak tegas. Namun persoalannya, kualitas koordinasi diantara birokrasi pemerintahan tampaknya masih lemah. Artinya, wibawa presiden perlu dijaga sepenuh hati oleh bawahannya. Bahkan lebih dari itu, ini menyangkut juga kewibawaan Kepala Negara. Karena itu, kesadaran para petinggi birokrat untuk terus meningkatkan koordinasi dan komunikasi menjadi kunci suksesnya roda pemerintahan ke depan. Semoga!

BERITA TERKAIT

Kredibilitas RI

Pemilu Presiden 2024 telah berlangsung secara damai, dan menjadi tonggak penting yang tidak boleh diabaikan. Meski ada suara kecurangan dalam…

Pangan Strategis

Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak…

Kedewasaan Berdemokrasi

Masyarakat dan segenap elemen bangsa Indonesia saatnya harus menunjukkan sikap kedewasaan dalam menjunjung tinggi asas serta nilai dalam berdemokrasi di…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Kredibilitas RI

Pemilu Presiden 2024 telah berlangsung secara damai, dan menjadi tonggak penting yang tidak boleh diabaikan. Meski ada suara kecurangan dalam…

Pangan Strategis

Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak…

Kedewasaan Berdemokrasi

Masyarakat dan segenap elemen bangsa Indonesia saatnya harus menunjukkan sikap kedewasaan dalam menjunjung tinggi asas serta nilai dalam berdemokrasi di…