ICW: Kekuasaan Yudikatif Dalam Darurat Korupsi

ICW: Kekuasaan Yudikatif Dalam Darurat Korupsi

NERACA

Jakarta - Banyaknya hakim dan pegawai pengadilan yang ditangkap KPK dinilai peneliti korupsi dari Indonesia Corruption Watch (ICW) mengindikasikan bahwa pengadilan atau cabang kekuasaan yudikatif sedang dalam kondisi darurat korupsi.

"Karena kondisi pengadilan yang darurat, maka perlu ada langkah luar biasa untuk membersihkan praktik mafia hukum di pengadilan dan sekaligus mengembalikan citra pengadilan di mata publik," ujar salah satu peneliti ICW, Lalola Easter Kanan, ketika dihubungi di Jakarta, Jumat (30/11).

Lalola mengatakan hal tersebut ketika menanggapi perkara dua hakim Pengadilan Jakarta Selatan yang ditetapkan sebagai tersangka kasus suap oleh KPK, setelah diamankan dalam OTT KPK. Membuka ruang bagi KPK untuk terus melakukan penindakan dengan menangkap hakim dan aparat Pengadilan yang korup, dinilai Lalola tidak cukup efektif untuk mencegah darurat korupsi di cabang kekuasaan yudikatif."Sebagai langkah pencegahan lain, Mahkamah Agung (MA) perlu melakukan evaluasi dalam melihat dan memetakan potensi korupsi di tubuh pengadilan," kata Lalola.

Selain itu, Lalola berpendapat MA perlu melakukan evaluasi terhadap implementasi Perma No. 8 Tahun 2016 tentang Pengawasan dan Pembinaan Atasan Langsung di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di Bawahnya."Apakah Perma tersebut efektif dalam mengatasi persoalan korupsi yang dilakukan oleh hakim dan aparat pengadilan, ini harus dievaluasi," kata Lalola.

28 Aparat Pengadilan Tersandung Korupsi 

Kemudian ICW mencatat sejak Maret 2012 hingga November 2018, terdapat 28 orang aparat pengadilan termasuk hakim terjerat kasus korupsi."Dalam catatan ICW sejak Hatta Ali dilantik menjadi Ketua Mahkamah Agung (MA), Maret 2012 hingga November 2018, setidaknya sudah ada 28 orang hakim dan aparat pengadilan tersandung kasus korupsi dan sebagian besar terjerat OTT KPK," kata Lalola.

Lalola memaparkan data tersebut ketika menanggapi perkara dua hakim Pengadilan Jakarta Selatan yang ditetapkan sebagai tersangka kasus suap oleh KPK, setelah diamankan dalam OTT KPK. Lalola mengatakan meskipun MA telah memberlakukan Perma Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Pengawasan dan Pembinaan Atasan Langsung di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di Bawahnya, namun tetap belum mampu melakukan pengawasan yang efektif terhadap hakim dan petugas pengadilan."Justru, ketua pengadilan yang dibebani tanggung jawab untuk melakukan pengawasan terhadap bawahan," tambah Lalola.

Lebih lanjut Lalola mengingatkan perkara korupsi yang menimpa mantan Ketua Pengadilan Tinggi Manado Sudiwardono beberapa waktu lalu."Justru dia sebagai ketua pengadilan yang melakukan pelanggaran dan menerima suap, sehingga sulit secara nalar untuk menjustifikasi pengawasan dilakukan oleh Ketua Pengadilan tetapi justru Ketua Pengadilan lah yang menjadi oknum nakal di pengadilan," kata Lalola.

Menurut Lalola, pimpinan MA selaku atasan dari kepala pengadilan lah yang seharusnya bertanggung jawab atas kasus tindak pidana suap dan korupsi ini.

Pada Rabu (28/11), KPK menetapkan dua hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yaitu Iswahyu Widodo dan Irwan sebagai tersangka penerima suap bersama panitera Muhammad Ramadhan karena diduga menerima suap sekira Rp650 juta dalam bentuk 47 ribu dolar Singapura (sekira Rp500 juta) dan Rp150 juta dari advokat Arif Fitrawan (AF) dan seorang pihak swasta Martin P Silitonga (MPS).

KPK kemudian melakukan penahanan untuk 20 hari pertama terhadap tersangka Iswahyu Widodo dan Irwan yang ditahan di Polres Metro Jakarta Timur, Muhammad Ramadhan di rutan Pomdam Jaya Guntur dan Arif Fitrawan di Polres Metro Jakarta Selatan.

Pemberian suap dalam perkara ini terkait dengan penanganan perkara Nomor 262/Pid.G/2018/PN Jaksel dengan penggugat Isrulah Achmad dan tergugat Williem J.V. Dongen, yang menggugat PT. Asia Pacific Mining Resources (APMR) dan Thomas Azali.

Pemberian suap dimaksudkan supaya majelis hakim membatalkan perjanjian akuisisi PT Citra Lampia Mandiri (CLM) oleh PT APMR di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ditetapkannya dua hakim PN Jaksel dan seorang panitera sebagai tersangka oleh KPK, menjadikan jumlah aparat pengadilan yang terjerat kasus korupsi menjadi 28 orang. Ant

 

BERITA TERKAIT

Hadi: Satgas Pemberantasan Judi Online Tak Sebatas Penegakan Hukum

NERACA Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) RI Hadi Tjahjanto menyebut kerja satuan tugas (satgas)…

Kompolnas Ungkap Progres Baru Penanganan Kasus Firli Bahuri

NERACA Jakarta - Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Yusuf Warsyim mengungkap akan ada progres/kemajuan baru dalam penanganan perkara/kasus dugaan pemerasan oleh…

Kejaksaan Agung Lembaga Penegakan Hukum Paling Dipercaya

NERACA Jakarta - Hasil jajak pendapat terbaru Indikator Politik Indonesia April 2024, kembali menempatkan Kejaksaan Agung sebagai lembaga hukum paling…

BERITA LAINNYA DI Hukum Bisnis

Hadi: Satgas Pemberantasan Judi Online Tak Sebatas Penegakan Hukum

NERACA Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) RI Hadi Tjahjanto menyebut kerja satuan tugas (satgas)…

Kompolnas Ungkap Progres Baru Penanganan Kasus Firli Bahuri

NERACA Jakarta - Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Yusuf Warsyim mengungkap akan ada progres/kemajuan baru dalam penanganan perkara/kasus dugaan pemerasan oleh…

Kejaksaan Agung Lembaga Penegakan Hukum Paling Dipercaya

NERACA Jakarta - Hasil jajak pendapat terbaru Indikator Politik Indonesia April 2024, kembali menempatkan Kejaksaan Agung sebagai lembaga hukum paling…