Produk Pangan - CIPS Minta Pemerintah Optimalkan Penyerapan Cadangan Bulog

NERACA

Jakarta – Lembaga kajian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyatakan bahwa pemerintah perlu mempertimbangkan opsi untuk mengimpor beras sekaligus mengoptimalkan penggunaan cadangan beras Bulog untuk mengantisipasi kenaikan harga. Impor sebelum Januari 2019 sangat ideal untuk mengantisipasi anjloknya harga beras dan juga kerugian petani.

Peneliti CIPS Assyifa Szami Ilman mengatakan hal ini dikarenakan proses pengiriman beras membutuhkan waktu sehingga sampainya beras tersebut di Indonesia juga harus diperkirakan dengan baik, jangan sampai berdekatan dengan panen raya.

"Pada intinya di saat seperti ini, dan dengan kondisi tidak mau impor, yang harus dipastikan ada dua, yaitu penyerapan beras dari petani yang menyeluruh dan distribusi beras ke pasar yang berjangka dan optimal," ucapnya seperti disalin dari Antara.

Dengan demikian, menurut Ilman, artinya Bulog selaku pelaku utama dalam menyerap beras dari petani harus memberikan HPP yang masuk akal. "Apabila diperlukan mungkin dapat mempertimbangkan perubahan HPP. Kalau HPP tidak diubah, bisa jadi si petani enggan menjual ke Bulog dan dikhawatirkan memilih jalur distribusi lain yang belum tentu legal," ucapnya.

Ia memaparkan melalui Inpres Nomor 5 tahun 2015, Bulog hanya diperbolehkan melakukan pembelian di tingkat petani dan penggiling apabila harganya berada di kisaran Rp 3.700,00 untuk Gabah Kering Panen (GKP), Rp 4.600 untuk Gabah Kering Giling (GKG) dan Rp 7.300 untuk beras.

Sedangkan untuk fleksibilitas harga terkait dengan pembelian komoditas tersebut hanya diperbolehkan maksimal 10 persen. Untuk itu, Ilman menyarankan sebaiknya pemerintah tidak usah fokus untuk mematok harga jual beli.

"Pemerintah justru sebaiknya perlu meninjau ulang, jika perlu mencabut skema HPP yang diatur dalam aturan tersebut dan fokus menjaga stabilitas harga beras melalui operasi pasar menggunakan cadangan beras yang tersedia di gudang Bulog," pungkasnya.

Daya beli petani yang menurun yang diiringi adanya tren kenaikan harga pangan perlu menjadi perhatian pemerintah. Hal ini perlu dilakukan karena berdasarkan pola tahunan, harga berbagai jenis pangan akan terus naik hingga awal tahun baru. Sementara itu petani juga merupakan konsumen produk pangannya.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Szami Ilman mengatakan, sebanyak 2/3 petani di Indonesia adalah net food consumers yang artinya mereka mengonsumsi dan membeli pangan lebih banyak dari pada pangan yang mereka tanam. Untuk itu, harga pangan yang tinggi akan memengaruhi kemampuan mereka untuk membelinya.

Berdasarkan data BPS, Nilai Tukar Petani (NTP) di subsektor tanaman perkebunan rakyat, peternakan, dan perikanan mengalami penurunan. Penurunan nilai ini tercatat sebesar 1% untuk NTP Perkebunan Rakyat, diikuti oleh NTP Peternakan (0,91%) dan NTP Perikanan sebesar (0,08%). Dalam rangka meningkatkan NTP Petani di subsektor tersebut, perlu tindakan pemerintah (pusat dan setempat) untuk menurunkan biaya keperluan produksi pertanian yang digunakan untuk proses produksi serta juga memastikan keterjangkauan harga barang dan jasa yang dikonsumsi rumah tangga pertanian.

”Pemerintah perlu mengintensifkan pendistribusian benih bersubsidi dan pakan ternak dan perikanan yang berkualitas bagi pelaku usaha. Dalam jangka panjang, pembangunan infrastruktur yang dapat mendorong rantai pasokan yang lebih efisien patut dilakukan,” terang Ilman.

Pembangunan infrastruktur untuk mendorong terciptanya rantai pasokan yang lebih efisien misalnya melalui sentra produksi jagung perlu difasilitasi oleh jalanan yang mendukung dari sentra produksi ke pelaku peternakan. Kehadiran infrastruktur dapat membuat proses distribusi jagung untuk pakan ternak dapat dilakukan dengan biaya lebih murah. Contoh lain adalah mengintensifkan program yang sudah ada, seperti melakukan distribusi mesin pengolah pakan ikan seperti yang didorong Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui program Gerpari.

”Pemerintah perlu mewaspadai kemungkinan naiknya harga pangan menjelang tahun baru dna diprediksi akan terjadi hingga Maret 2019. Pergerakan harga seharusnya sudah bisa diwaspadai sejak pertengahan tahun agar tidak terjadi peningkatan harga yang tinggi dan tidak bisa dijangkau oleh masyarakat. Selain membanjiri pasar dengan produk, fluktuasi harga bisa dicegah dengan membuat rantai distribusi pangan menjadi lebih efisien,” jelasnya.

Kenaikan harga pangan  terjadi karena daerah sentra panen atau lumbung pangan mengalami masa panen yang tertunda. Data BPS menunjukkan adanya inflasi beragam di kota dan desa yang didorong oleh BBM Non Subsidi dan harga cabai. Inflasi masih terkendali karena masih berada di kisaran 3,5-3,45%.

BERITA TERKAIT

Tiga Asosiasi Hilir Sawit dan Forwatan Berbagi Kebaikan

NERACA Jakarta – Kegiatan promosi sawit dan bakti sosial diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bersama tiga asosiasi hilir sawit yaitu…

Hingga H+3 Pertamina Tambah 14,4 juta Tabung LPG 3 Kg

NERACA Malang – Selama Ramadhan hingga H+3 Idul Fitri 2024, Pertamina melalui anak usahanya, Pertamina Patra Niaga, telah menambah pasokan…

Pengembangan Industri Pengolahan Kopi Terus Dirorong

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus mendorong perkembangan industri pengolahan kopi nasional. Hal ini untuk semakin mengoptimalkan potensi besar…

BERITA LAINNYA DI Industri

Tiga Asosiasi Hilir Sawit dan Forwatan Berbagi Kebaikan

NERACA Jakarta – Kegiatan promosi sawit dan bakti sosial diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bersama tiga asosiasi hilir sawit yaitu…

Hingga H+3 Pertamina Tambah 14,4 juta Tabung LPG 3 Kg

NERACA Malang – Selama Ramadhan hingga H+3 Idul Fitri 2024, Pertamina melalui anak usahanya, Pertamina Patra Niaga, telah menambah pasokan…

Pengembangan Industri Pengolahan Kopi Terus Dirorong

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus mendorong perkembangan industri pengolahan kopi nasional. Hal ini untuk semakin mengoptimalkan potensi besar…