Bermasalah, Kominfo Tutup 300 Aplikasi Fintech

Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) menyatakan telah menutup lebih 300 aplikasi financial technology (fintech) yang tak berijin. Penutupan web maupun aplikasi berkedok fintech yang meresahkan ini terjadi setelah banyaknya pengaduan-pengaduan dari masyarakat yang menggunakannya.

Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kemkominfo Samuel Abrijani Pangerapan mengatakan pemerintah tak serta merta mengetahui aplikasi fintech mana yang tak berijin jika tak ada laporan dari masyarakat secara langsung. "Kalau fintech kemarin 275 (yang diblokir) ditambah 66 ya 300-an lebih ya posisi per kemarin yang diajukan (pemblokirannya)," kata Samuel.

Menurut dia, harusnya masyarakat harus lebih aktif dan tak mudah terkecoh dengan fintech-fintech yang masih tak memiliki ijin atau terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Selain itu, agar tak terkecoh, biasakan terlebih dahulu membaca aturan yang ada dan aware terhadap daftar fintech yang terdaftar di OJK. "Karena digital itu banyak nah makanya kalau bisa nanti masyarakat harus tahu daftarnya di OJK dulu, kan jadi kalau ada masalah bisa dipanggil orangnya. Kalau tidak terdaftar di OJK ya tidak bisa," tegas dia

Ditempat terpisah, Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Nurhaida menyatakan lembaganya tak bisa membatasi pemberian imbal hasil investasi perusahaan layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi fintech (peer to peer/P2P lending) kepada investor. Sebab, imbal hasil merupakan kesepakatan antara perusahaan dengan investor atau pemberi pinjaman (lender). "Prioritas OJK adalah memastikan perusahaan fintech P2P lending ini untuk memberikan keterbukaan informasi atau transparansi. Nanti pemberi pinjaman bisa mengakses sendiri risiko akan seperti apa," tutur Nurhaida.

Di luar itu, selama kedua belah pihak sepakat tentang jumlah imbal hasil yang diberikan per tahunnya, OJK tak bisa berbuat apa-apa. Dengan kata lain, pantauan OJK hanya berdasarkan keterbukaan informasi perusahaan fintech P2P lending.

Lebih detail, kata dia, pengaturan tersebut tercantum dalam POJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Terkait pengawasannya sendiri, Nurhaida belum bisa menjawab gamblang karena pihaknya masih akan mengecek lagi keterbukaan informasi yang dilakukan perusahaan fintech P2P lending yang sudah terdaftar sejauh ini. "Dalam pengawasan nanti saya cek tetapi seharusnya sudah demikian karena kalau tidak akan kena sanksi," ujar Nurhaida.

Senada, Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi mengungkapkan pengawasan yang dilakukan OJK hanya sebatas memastikan jika uang yang ditanamkan oleh investor di suatu perusahaan fintech P2P lending benar-benar digunakan untuk disalurkan kepada peminjam (borrower). "Misalnya jangan sampai janji beli motor ketika dapat uangnya digunakan untuk yang lain," ucap Hendrikus.Jika uang yang diberikan perusahaan kepada investor tak sesuai dengan perjanjian, barulah OJK turun tangan ikut mengecek penggunaan uang tersebut. Jika nantinya investor merasa dirugikan karena tertipu oleh imbal hasil selangit perusahaan fintech P2P lending, mereka bisa melaporkan ke OJK dan polisi.

Nantinya, jika terbukti perusahaan fintech itu menipu investor maka akan dibawa ke ranah hukum. "Tapi kalau persoalannya gagal bayar, bisnis kamu tidak sukses namanya wanprestasi itu polisi tidak bisa masuk kecuali langsung lapor pengadilan pidana," kata Hendrikus.

Dari sisi OJK, bila Fintech melakukan menipu investor, pihaknya akan memberikan sanksi secara bertahap. Mengacu pada aturan OJK, Nurhaida menyebut sanksi paling berat bisa dilakukan OJK  dengan mencabut izin operasional perusahaan fintech P2P lending.

Namun, khusus pengembalian imbal hasil perusahaan fintech kepada investor, ia belum memiliki kajian spesifik. Nurhaida mengaku akan mengecek kembali keterbukaan informasi perusahaan fintech P2P lending.

Sebagai informasi,  bisnis online tidak melulu hanya e-commerce (toko online) atau situs portal berita. Ada sebuah industri baru bernama financial technology atau nama kerennya FinTech Indonesia.

Keberadaan FinTech bertujuan untuk membuat masyarakat lebih mudah mengakses produk-produk keuangan, mempermudah transaksi  dan juga meningkatkan literasi keuangan. Perusahaan-perusahaan FinTech Indonesia didominasi oleh perusahaan startup dan berpotensi besar.

National Digital Research Centre di Dublin, Irlandia mendefinisikan financial technology atau fintech sebagai: “innovation in financial services” atau “inovasi dalam layanan keuangan”.

Definisi tersebut memiliki pengertian yang sangat luas, perusahaan fintech dapat menyasar segment perusahaan (B2B) maupun ritel (B2C).

BERITA TERKAIT

Bantu UKM Kembangkan Bisnis, Salesforce Luncurkan Pro Suite

  NERACA Jakarta - Salesforce meluncurkan edisi terbaru Pro Suite yang tersedia di market Indonesia. Sebuah solusi yang fleksibel, terukur,…

Menggabungkan Seni dan Teknologi, Ink Lords Kenalkan Desain Kemasan dari Makhluk Mitologi Indonesia

  Menggabungkan Seni dan Teknologi, Ink Lords Ciptakan Desain Kemasan dari Makhluk Mitologi Indonesia NERACA Jakarta - Minat terhadap ‘Creative…

Kolaborasi dengan Timezone - Coocaa Indonesia Bagi THR TV 86 Inch dan Ratusan Juta Rupiah

Coocaa, sebagai brand TV no. 1 di Indonesia berkolaborasi dengan Timezone Indonesia ingin berbagi kebahagiaan serta perasaan dan pengalaman yang…

BERITA LAINNYA DI Teknologi

Bantu UKM Kembangkan Bisnis, Salesforce Luncurkan Pro Suite

  NERACA Jakarta - Salesforce meluncurkan edisi terbaru Pro Suite yang tersedia di market Indonesia. Sebuah solusi yang fleksibel, terukur,…

Menggabungkan Seni dan Teknologi, Ink Lords Kenalkan Desain Kemasan dari Makhluk Mitologi Indonesia

  Menggabungkan Seni dan Teknologi, Ink Lords Ciptakan Desain Kemasan dari Makhluk Mitologi Indonesia NERACA Jakarta - Minat terhadap ‘Creative…

Kolaborasi dengan Timezone - Coocaa Indonesia Bagi THR TV 86 Inch dan Ratusan Juta Rupiah

Coocaa, sebagai brand TV no. 1 di Indonesia berkolaborasi dengan Timezone Indonesia ingin berbagi kebahagiaan serta perasaan dan pengalaman yang…